Senin, 13 Agustus 2012

SYI’ IR TANPO WATON “GUS DUR”



أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا     *    أَسْتَغْفِرُ اللهْ مِنَ الْخَطَايَا
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا     *       وَوَفِّقْنِي عَمَلاً صَالِحَا
ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ      *    يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَ الدَّرَجِ
عَطْفَةً يَّاجِيْرَةَ الْعَالَمِ      *      يَا أُهَيْلَ الْجُودِ وَالْكَرَمِ

Ngawiti ingsun nglaras syi’iran …. (aku memulai menembangkan syi’ir) 
Kelawan muji maring Pengeran …. (dengan memuji kepada Tuhan)

Kang paring rohmat lan kenikmatan …. (yang memberi rahmat dan kenikmatan)

Rino wengine tanpo pitungan 2X …. (siang dan malamnya tanpa terhitung)
Duh bolo konco priyo wanito …. (wahai para teman pria dan wanita)

Ojo mung ngaji syareat bloko …. (jangan hanya belajar syari’at saja)

Gur pinter ndongeng nulis lan moco … (hanya pandai bicara, menulis dan membaca)

Tembe mburine bakal sengsoro 2X …. (esok hari bakal sengsara)
Akeh kang apal Qur’an Haditse …. (banyak yang hafal Qur’an dan Haditsnya)

Seneng ngafirke marang liyane …. (senang mengkafirkan kepada orang lain)

Kafire dewe dak digatekke …. (kafirnya sendiri tak dihiraukan)

Yen isih kotor ati akale 2X …. (jika masih kotor hati dan akalnya)


Gampang kabujuk nafsu angkoro …. (gampang terbujuk nafsu angkara)

Ing pepaese gebyare ndunyo …. (dalam hiasan gemerlapnya dunia)

Iri lan meri sugihe tonggo … (iri dan dengki kekayaan tetangga)

Mulo atine peteng lan nisto 2X … (maka hatinya gelap dan nista)
Ayo sedulur jo nglaleake …. (ayo saudara jangan melupakan)

Wajibe ngaji sak pranatane … (wajibnya mengkaji lengkap dengan aturannya)

Nggo ngandelake iman tauhide … (untuk mempertebal iman tauhidnya)

Baguse sangu mulyo matine 2X …. (bagusnya bekal mulia matinya)
Kang aran sholeh bagus atine …. (Yang disebut sholeh adalah bagus hatinya)

Kerono mapan seri ngelmune … (karena mapan lengkap ilmunya)

Laku thoriqot lan ma’rifate …. (menjalankan tarekat dan ma’rifatnya)

Ugo haqiqot manjing rasane 2 X … (juga hakikat meresap rasanya)
Al Qur’an qodim wahyu minulyo … (Al Qur’an qodim wahyu mulia)

Tanpo tinulis biso diwoco … (tanpa ditulis bisa dibaca)

Iku wejangan guru waskito … (itulah petuah guru mumpuni)

Den tancepake ing jero dodo 2X … (ditancapkan di dalam dada)
Kumantil ati lan pikiran … (menempel di hati dan pikiran)

Mrasuk ing badan kabeh jeroan …. (merasuk dalam badan dan seluruh hati)

Mu’jizat Rosul dadi pedoman …. (mukjizat Rosul(Al-Qur’an) jadi pedoman)

Minongko dalan manjinge iman 2 X … (sebagai sarana jalan masuknya iman)
Kelawan Alloh Kang Moho Suci … (Kepada Allah Yang Maha Suci)

Kudu rangkulan rino lan wengi ….. (harus mendekatkan diri siang dan malam)

Ditirakati diriyadohi … (diusahakan dengan sungguh-sungguh secara ihlas)

Dzikir lan suluk jo nganti lali 2X … (dzikir dan suluk jangan sampai lupa)
Uripe ayem rumongso aman … (hidupnya tentram merasa aman)

Dununge roso tondo yen iman … (mantabnya rasa tandanya beriman)

Sabar narimo najan pas-pasan … (sabar menerima meski hidupnya pas-pasan)

Kabeh tinakdir saking Pengeran 2X … (semua itu adalah takdir dari Tuhan)
Kelawan konco dulur lan tonggo … (terhadap teman, saudara dan tetangga)

Kang podho rukun ojo dursilo … (yang rukunlah jangan bertengkar)

Iku sunahe Rosul kang mulyo … (itu sunnahnya Rosul yang mulia)

Nabi Muhammad panutan kito 2x …. (Nabi Muhammad tauladan kita)
Ayo nglakoni sakabehane … (ayo jalani semuanya)

Alloh kang bakal ngangkat drajate … (Allah yang akan mengangkat derajatnya)

Senajan asor toto dhohire … (Walaupun rendah tampilan dhohirnya)

Ananging mulyo maqom drajate 2X … (namun mulia maqam derajatnya di sisi Allah)
Lamun palastro ing pungkasane … (ketika ajal telah datang di akhir hayatnya)

Ora kesasar roh lan sukmane … (tidak tersesat roh dan sukmanya)

Den gadang Alloh swargo manggone … (dirindukan Allah surga tempatnya)

Utuh mayite ugo ulese 2X … (utuh jasadnya juga kain kafannya)


ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ       *          يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَ الدَّرَجِ
عَطْفَةً يَّاجِيْرَةَ الْعَالَمِ       *           يَا أُهَيْلَ الْجُودِ وَالْكَرَمِ

Minggu, 12 Agustus 2012

Membumikan NDP PMII; Usaha Mempertahankan Pancasila*


Oleh : Abdur Rahim**

Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama”. Artinya, urgensi atau peranan mahasiswa dalam mewujudkan Negara Kesatuan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Termasuk juga dalam peranan mempertahankan keseimbangan atas gejolak yang ada. Mulai dari terbentuknya Negara Republik (baca: proklamasi), mahasiswa menjadi inisiator utama, seperti Soekarno, M. Hatta, dan lain-lain, sampai pada runtuhnya orde baru. Sekali lagi, mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama” dalam gerakan perubahan di Indonesia .Pasca Orde Baru.
Seiring dengan berjalannya waktu, sebagai Negara, Indonesia tidak pernah lepas dari konstelasi dunia (global). Dalam sejarah Indonesia, banyak bukti yang menunjukkan bahwa Indonesia sering dikendalikan oleh wacana “asing” yang (terkadang) berwatak imperialistik. Bangsa Indonesia sering dijejali dan atau terpukau dengan wacana dari “luar” yang (lagi-lagi terkadang) membuat Indonesia masuk dalam lingkaran hegemoni. Lebih lanjut lagi, persoalan ini memang bukan sekedar dikotomi antara “Barat” dan “Timur”, yang berwatak dangkal dan picik. Akan tetapi, adalah persoalan bahwa wacana tersebut yang (kebetulan) berasal dari “Barat” itu sering berefek menjajah atau menelikung.Indonesia lantas tidak sekedar masuk dalam lingkaran wacana (Barat) yang menggerus dirinya. Akan tetapi, juga masuk dalam cengkraman imperialisme global yang sangat hegemonik. Indonesia dijajah dan dikendalikan, misalnya dari aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi, kebudayaan dan seterusnya.
Selain itu, dari sudut pandang ideologis (khususnya), Indonesia beberapa tahun belakangan menjadi “kalang kabut”, sebut saja persoalan (baca: wacana) HAM dan Agama, issue tran-nasional yang kemudian sangat berdampak besar bagi keutuhan NKRI. Akhirnya, sebagai dampak dari itu, pancasila pun sebagai ideology Negara “sedikit” tergoncang eksistensinya (baca: keberadaannya).
Dari berbagai  permasalahan yang terjadi, bangsa Indonesia, akhirnya –diakui ataupun tidak- sedikit kehilangan karakter berkebangsaannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pergulatan ideologis antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain (rasikalisme dan liberalism) mulai dari semangat membentuk Negara Islam (baca: Khilafah Islamiyah) oleh beberapa kelompok sampai pada pengahapusan pancasila sebagai ideologi Negara. Termasuk juga hilangnya karakter nasionalisme dalam diri (sebagian) tokoh politik di Indonesia. Mengapa demikian? Dampak dari pergulatan tersebut, kemudian menjadikan masyarakat Indonesia (dunia pada umumnya) bersikap pragmatis, hedonis, dan berfikir positivistic-materialistik. Sehingga, “kejahatan” politik kemudian menjadi perihal yang permisif, sebut saja, korupsi yang merupakan kejahatan HAM.

PMII dan  Keutuhan Pancasila; Membumikan NDP PMII
Adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang merupakan organisasi keislaman yang berbasis pengkaderan dan bersifat keagamaan, kemahasiswaan, kebangsaan, kemasyarakatan, independensi dan professional , (seharusnya) mempunyai peranan penting dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi Negara yang kemudian menjadi landasan dalam membentuk karakter bangsa.Berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, perlu memperoleh perhatian khusus oleh para aktivis mahasiswa, khususnya PMII yang memang memiliki kerangka atau acuan dalam segala aktivitas gerakan yang dilakukan (baca: NDP). Kerangka acuan tersebut harus menjadi titik pijak gerakan dalam menghadapi berbagai permasalahan, termasuk dalam membentuk karakter berkebangsaaan.
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang notabene menjadi ideologi alternatif  dalam mengimbangi laju globalisasi, agar tercipta tatanan yang seimbang “tanpa tekanan dan dominasi”. Keberadaan Aswaja –sebagai ideologi yang ditawarkan- bisa mengadaptasi dengan situasi dan kondisi. Terntunya, segala langkah perubahan yang diambil harus tetap berlandaskan pada paradigm kaidah al-Muhafadzatu ala Qodim al-Sholih wa al-akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah, (meyamakan langkah dengan mempertahankan sebuah tradisi yang kondisinya masih baik dan relevan dengan masa kini atau berkolaborasi dengan nilai-nilai baru yang kenyataannya pada era kekinian dan masa mendatang akan lebih baik).Sementara Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII yang merupakan rumusan nilai-nilai yang diturunkan secara langsung dari ajaran Islam serta kenyataan masyarakat dan negeri Indonesia, dengan kerangka pendekatan Ahlussunnah wal-Jama’ah. NDP harus senantiasa menjiwai seluruh aturan organisasi, memberi arah dan mendorong gerak organisasi, serta menjadi penggerak setiap kegiatan organisasi dan kegiatan masing-masing anggota. Sebagai ajaran yang sempurna, Islam harus dihayati dan diamalkan secara kaffah atau menyeluruh oleh seluruh anggota dengan mencapai dan mengamalkan Iman (aspek aqidah), Islam (aspek syari’ah) dan Ihsan (aspek etika, akhlak dan tasawuf.Sebagai tempat hidup dan mati, negeri maritim Indonesia merupakan rumah dan medan gerakan organisasi. “Di Indonesia organisasi hidup, demi bangsa Indonesia organisasi berjuang”.
Sebagai tempat semai dan tumbuh  negeri Indonesia telah memberi banyak kepada organisasi. Oleh sebab itu, organisasi dan setiap anggotanya wajib memegang teguh komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. NDP adalah penegasan nilai atas watak keindonesiaan organisasi.
NPD PMII yang di dalamnya terdapat nilai ketuhanan (Tauhid), nilai ke-hamba-an sebagai seorang makhluk yang berelasi dengan penciptanya (Hablun minallah), nilai humanism (Hablun minannas), dan nilai kecitaan terhadap alam dan tanah air (hablun minal alam). Dan Ahlussunnah wal Jama’ah digunakan sebagai pendekatan berpikir (Manhaj al-Fikr) untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam.  Pilihan atas Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pendekatan berpikir dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam merupakan keniscayaan di tengah kenyataan masyarakat Indonesia yang serba majemuk. Dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengenal nilai kemerdekaan (al-Hurriyah), persamaan (al-Musawah), keadilan (al-’Adalah), toleransi (Tasamuh), dan nilai perdamaian (al-Shulh), maka kemajemukan etnis, budaya dan agama menjadi potensi penting bangsa yang harus dijaga dan dikembangkan. (Sekali lagi) terlebih dalam rangka menjaga eksistensi pancasila di bumi Nusatara.

Harapan: PMII for Nusantara
Keberadaan PMII sebagai organisasi yang dapat menciptakan sub-cultur di tataran mahasiswa, tentunya dengan landasan tersebut, diharapkan dapat menjadi solusi atas keutuhan dan eksistensi pancasila. Baik dari tantangan imperialisme globalisasi maupun pergulatan ideologi trans-nasionalisme yang hari ini sangat “mengganggu” bangsa Indonesia.
Dengan nila-nilai tersbut pula, PMII dapat menjadi “satu-satunya” oraganisasi yang bisa membentuk karakter nasionalisme-kultural. Artinya, karakter yang dibentuk oleh PMII, kemudian dapat membentuk karakter yang secara social-agama dapat dipertanggungjawabkan segala tingkah lakunya (baca: perbuatannya) seperti yang termaktub dalam Tujuan PMII “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia .”
Akhirnya, dengan terbentuknya karakter tersebut, maka (sekali lagi) eksistensi Pancasila sebagai ideologi Negara tidak akan pernah terganggu oleh berbagai macam gerakan. Semoga refleksi ini dapat tercapai sesuai dengan konteks serta realistis.

 * tulisan ini diupload d Cyber PB PMII, dan diupload kembali dengan semangat mengembalikan ghiroh kaderisasi berbasis sklill (menulis).
**Abdi Dalem PMII Komisariat Sunan Ampel Malang masa khidmat 2011-2012


MALANG- PMII Komisariat Sunan Ampel Malang semakin lantang. pasalnya, pelantikan lima rayon masa khidmat 2012-2013 dilakukan secara bersamaan di parkiran gedung B Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. menurut ketua panitia pelantikan bersama, Chairul, pelantikan ini sengaja dilakukan di bulan romadhon agar perjuangan dan semangat yang muncul dari masing-masing kader menjadi lebih berkah.
"semangat calon pengurus yang dilantik pada pelantikan bersama tahun ini lebih besar dan lebih tampak. ini sesuai dengan target." katanya.

Photo: Ketika Up-greading pengurus PMII Rayon "Perjuangan" Ibnu Aqil tahun 2010

Cinta; apa itu?*


Oleh Abdur Rahim**

 “Cinta adalah yang mendatangkan kebutaan dan ketulian, cinta membutakan segalanya kecuali yang dicintai”(Ibnu Abd Al-shamad)
“Cinta adalah lautan tak bertepi, laut hanyalah serpihan buih belaka” (Jalaluddin ar-Rumi)

Cinta dalam bahasa Arab disebut Al-Hubb atau Mahabbah yang berasal dari kalimat habba-hubban-hibban, yang berarti waddahu, yang mempunyai makna kasih atau mengasihi.[1] Ada juga yang mengatakan, “hubb” berakar dari kata “habab al-maa”, yaitu air bah yang besar. Cinta dinamakanmahabbah karena ia adalah kepedulian yang peling besar dari cita hati.
Cinta, sering pula dianggap bersal dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan bentuk jama’ dari kata“habbat”. Dan habbat al-qulb adalah sesuatu yang menjadi penopangnya. Dengan demikian, cinta dinamakan hubb dikarenakan tersimpan dalam kalbu (hati).
Ada lagi yang menyebutkan kata hub berasal dari kata hibbah, yaitu berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dengan akar kata ini dimaksudkan sebagai lubuk kehidupan, seperti hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan. Namun ada pula yang mengatakan, cinta berasal dari kata hibb, yaitu “tempat yang di dalamnya ada air, dan tatkala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi yang lainnya”. Demikian juga, tatkala hati diluapi rasa cinta, tak ada lagi tempat di hatinya selain ‘sang kekasih’.
Sedangkan Abu Yazid Al-Bisthami mengatakan bahwa “hakikat cinta itu adalah apabila telah terjadiittihad”. Cinta, membebaskan hal-hal sebesar apapun yang datang dari seseorang, dan membesar-besarkan hal yang kecil yang datang dari kekasih. Terkait dengan esensi cinta tersebut, al-Junaid kemudian menunjukkan betapa hati si pecinta direnggut oleh ingatan kepada ‘yang dicinta’ hingga tak satupun tertinggal selain ingatan akan sifat-sifatnya, bahkan lupa dan tak sadar akan sifat-sifatnya sendiri, ‘karena cinta’.[2]
Namun, hari ini cinta ‘terkadang’ membuat seseorang lupa segalanya, lupa hidupnya, lupa masa depannya, lupa ibunya, lupa bapaknya, bahkan lupa Tuhannya. Persoalan ini kemudian ‘merusak’ definisi dan subtansi sebuah makna dari cinta. Kenapa demikian?
Pergeseran makna ini tidak bisa lepas dari sebuah pandangan seseorang dalam melihat –bahkan menyikapi-  kehidupan. Modernisme, adalah awal dari segala pergeseran frame itu. Kecenderungan terhadap dunia materialistik-empirik yang kemudian disusul dengan positivistik menyebabkan seseorang (manusia) berperilaku pragmatis. Ditambah lagi dengan era pos-modernisme yang membawa manusia pada frame yang cenderung mengedepankan style dan ‘nafsu’ kemudian sikap hedanisme dan lain sebagainya.
Dalam konteks ‘cinta’, pergeseran frame ini nantinya tidak hanya mempengaruhi terhadap makna cinta, tetapi juga pada objek cinta, cara pandang ‘bercinta’ dan alasan mengapa ‘mencinta’.
Semoga dengan realita ‘cinta’ yang demikian, kita dapat terhindar dari ‘kecelakaan’ bercinta.


[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973)
[2] Cinta yang dimaksud oleh al-Bishtami (seharusnya) adalah cinta terhadap Tuhan.






* Catatan ini hanya sebuah pengantar tentang makna cinta, dan akan ada lanjutannya.insyaAllah.
** Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel Malang dan Alumni Ponpes Syarifuddin Wonorejo Lumajang

Memahami “Kembali” Agama (Sebuah usaha mencapai cita-cita bersama)


Oleh Abdur Rahim*

“Dan barangsiapa menganut Dîn selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran 85).
"Sesunggunya agama disisi Allah Adalah Islam".(Ali Imran: 19)


Berbicara masalah agama berarti berbicara tentang masa lalu, sekarang, dan akan datang. Atau dengan kata lain, agama merupakan salah sau faktor penentu sejarah peradaban manusia. Isu tentang agama akan terus dan selalu hangat untuk dibicarakan, mengingat manusia tidak bisa dipisahkan dari agama. Henri Bergson mengatakan "There has never been a society without religion" (tidak ada masyarakat tanpa agama). Dipertegas lagi oleh Raymond Firth yang menyatakan bahwa"Religion is universal in human societies", agama adalah universal dalam masyarakat manusia.
Agama adalah sebuah fenomena yang dekat dalam kehidupan individu dan masyarakat. Demikian dekatnya, sehingga agama menjadi perangkat dalam seluruh ritual kehidupan kita. Begitu juga dengan para ilmuan, mereka tidak penah ketinggalan dalam mengomentari agama. Mulai dari ilmuan saintis hingga ilmuan lainnya, seperti psikolog, sosiolog, politik bahkan seniman. Berbagai perspektif tentang agama pun mulai bermunculan. Mulai dari perspektif yang fundamen-radikal sampai pada perspektifliberal-rasional. Makna agama yang dihasilkan dari cara pandang demikian kemudian menghasilkan karakter (baca: sikap) beragama. Karakter untuk terbuka maupun karakter tertutup terhadap cara pandang lain.
Untuk memenuhi universalitas dari sebuah agama (Islam), perlu kiranya pemahaman yang komprehensif dan dapat mewakili konsepsi universalitas agama menjadi sebuah sikap awal bagi umat beragama (Muslim).

Memahami al-Din (Agama)
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Al-quran disebutkan sebanyak 92 kali. Secara etimologi, dindiartikan sebagai “balasan” dan “ketaatan”. Dalam arti balasan, Al-quran menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja) Hari Pembalasan). Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saw bersabda Ad-diinu nashiihah (agama adalah ketaatan). Sedangkan menurut terminologi teologi, din diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, yaitu (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lainnya saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat.
Seseorang dapat dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya.     Karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakanmutadayyin selagi tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak daripada syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.
Kaitannya dengan itu, maka –menurut penulis- agama harus difahami tidak hanya sebatas religiusitas (keyakinan), melainkan agama harus defahami sebagai ilmu, moral dan social system dalam berkehidupan.
Pertama, agama sebagai religiusitas adalah ber-akidah dalam beragama. Artinya, sudah menjadi sebuah keharusan bagi seluruh umat beragama. Keharusan yang sesuai dengan “pilihan” untuk beragama. Pemahaman yang seperti ini seharusnya sudah final dan sifatnya sangat privacy bagi setiap manusia. Inilah yang disebut dengan agama mempunyai dimensi esoteric yang “seharusnya” tidak bisa diganggu gugat.
Kedua, agama sebagai ilmu seharusnya menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang dalam mencari makna kehidupan (baca: ilmu dan pengetahuan). Artinya, konsepsi seperti ini, juga membuat seseorang menemukan sendiri bekal ataupun jalan untuk mencapai tujuan akhir dalam sebuah kehidupan (surga).
Ketiga, agama sebagai moral dan system sosial. Manusia sebagai masyarakat sosial (zoon politicon)tentunya membutuhkan tata-cara atau mekanisme berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, manusia membutuhkan perilaku-perilaku yang “disepakati” dalam berkehidupan. Baik kesepakatan yang dihasilkan secara komunal (kelompok) atau global (keseluruhan). Mekanisme berperilaku yang berangkat dari doktrin-doktrin agama maupun dari lingkungan sosial. Pemahaman yang seperti ini kemudian mewakili dimensi eksoterik (syariat-muamalah) dalam sendi-sendi kehidupan. Pemahaman seperti ini –khususnya yang terakhir- yang kemudian membuat seseorang dapat berintraksi dengan sangat terbuka.
Kaitannya dengan cita-cita bangsa adalah bahwa proses mewujudkan “Bhineka Tunggal Ika” dengan mekanisme demokrasi dan pluralisme banyak persoalan yang sampai sekarang belum menemukan titik temu. Artinya, banyak ketidaksepakatan yang muncul karena doktrin agama. Misalnya, ke-alergi-anbeberapa umat agama (muslim) terhadap kelompok lain bahkan terhadap agama lain, sehingga menyebabkan kekerasan dan semacamnya yang kemudian menghambaat proses “ke-Bhineka Tunggal Ika-an” tersebut.
Akhirnya, semoga pemahaman yang komprehensif (universal) tidak hanya sebatas pemahaman yang memunculkan kesadaran magis dan kesadaran naïf bagi kita semua, tetapi juga dapat memunculkankesadaran kritis yang kemudian menjadi sikap dan karakter dalam relasi-interpersonal agar dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.



*Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel Malang dan Alumni Ponpes Syarifuddin Wonorejo Lumajang

NU, Liberalis atau Modernis?

NU, Liberalis atau Modernis?


Sejak kelahirannya, Nahdlatul Ulama’ (NU) telah terlibat dalam pertentangan pemahaman dan pemikiran keagamaan, baik dengan gerakan Wahabi di Arab Saudi mapun dengan kalangan medernis, seperti Muhamadiyah, Syarikat Islam, maupun Persatuan Islam[1] dikala itu. Dalam pertentangan itu, NU “mengambil posisi” sebagai pihak yang mempertahankan tradisi keagamaan yang telah membudaya selama tidak bertentangan dengan Isam –tentunya kriteria pertentangan yang dimaksud sesuai dengan tafsiran atas kaidah-.
Dari perspektif posisi NU sebagai anti-tesis terhadap gerakan pembaharu dan pemurni[2] tersebut, agaknya dapat dinilai bahwa NU adalah organisasi yang berdasarkan tradisi atau sebagai organisasi tradisional. Dengan demikian, NU –untuk sementara- menurut Mujamil Qomar patut mewakili kalangan tradisionalis, sedangkan Muhamadiyah mewakili kalangan modernis. Dengan kata lain, Muhamadiyah dikatakan sebagai pembaharu, sedangkan NU adalah tradisional.
Perbedaan yang terjadi antara keduanya lebih hanya pada persoalan metodologis dalam pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam ajaran Islam dari pada persoalan lainnya. Mengapa demikian…?
(Sekali lagi) dikotomi yang terjadi hanya berdasarkan pada metodologi dalam pendekatan ajaran Islam. Muhamadiyah misalnya, dikategorikan sebagi modernis karena dilihat dari aspek social pendidikan, namun dilihat dari perkembangan peta pemikiran keagmaan akhir-akhir ini, agaknya citra modernis itu, -maaf- berbalik arah. Artinya, stigma tersebut lebih memihak pada NU.
Dalam bidang pemikiran, pembaharuan kaum modernis (baca: Muhamadiyah) menurut Mujamil Qomar bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Justru NU mulai menggelindingkan pembaruan pemikiran itu.
Dalam beberapa fenomena pemikiran di Indonesia, para pemuda NU -yang menurut beberapa cendekiawan muda NU diawali oleh pola pemikiran Gus Dur- sudah mulai menggunakan metode pemikiran yang cukup dapat bilang modern dan kontekstual atas realita. Terbukti dalam dinamika atau wacana intelektual yang menggelinding di tengah-tengah masyarakat kita, dominasi gerakan intelektual yang dilakukan oleh para pemuda NU cukup mempengaruhi.
Misalnya, semangat gerakan intelektual yang ada pada komunitas Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) -sejak awal tahun 90-an- dalam menawarkan wacana baru atas realita ke-Islam-an di Indonesia, khususnya ke-NU-an cukup mempengaruhi gejolak pemikiran yang ada. Dilanjut dengan adanya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang secara “kebetulan” diprakarsai oleh para pemuda NU seperti Ulil Abshor Abdalla, Abdul Moqsit Ghozali, dan lain-lain. Wacana yang dilontarkan oleh beberapa aktivis JIL, pun cukup merubah stigma tentang NU tradisionalis.
Peranan dan semangat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam mengkontekstualisasikan Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP)-nya –walaupun masih dalam pespektif masing-masing; tua dan muda- dalam sebuah gerakan kongkrit (baca: praksis) cukup mendominasi metode yang digunakan. Artinya, sumbangsihnya tidak bisa dinafikan dalam andil mewarnai pola (gejolak) pemikiran yang ada.
Teringat dengan tawaran-tawaran yang dilakukan oleh Said Aqil Sirodj dalam pemikiran ke-NU-an dan gerakannya. Ketika itu, ia digugat oleh beberapa kaum sepuh. Kenakalan berfikirnya, -yang dianggap menggunaka logika syi’ah-, menurut beberapa cendikawan dianggap tidak relevan dengan konsepsi (khittah) Nahdlotul Ulama’.
Ditambah lagi dengan beberapa terobosan yang ditawarkan NU dalam pengembangan pendidikan di Indonesia –walaupun belum cukup dikatakan sukses- cukup mengubah pandangan masyarakat. Artinya, NU yang awalnya hanya dikenal dengan pendidikan pesantrennya (pesantren salaf) dan metode sorogannya, maka hari ini NU cukup mendominasi “model” pendidikan Indonesia. Terlebih dalam gerakan pembaharuan pendidikan yang diprakarsai KH. Abdul Wahid Hasyim.
Dengan kondisi tersebut, maka polarisasi atas istilah dikotomik tersebut, modernis dan tradisionalis mulai digugat manakala digunakan untuk mengamati perkembangan pemikiran NU dewasa ini. Menurut penulis, -lagi-lagi dari segi metodologi dalam pemahaman ajaran dan model pendidikan- disinilah peran cendekiawan NU yang dikatakan tidak lagi tradisionalis.
Lantas, apakah konsep “Al-Muhafadzotu ‘ala Al-QodimAl-Sholeh wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Ashlah”tidak cukup membuktikan bahwa NU itu tetap Tradisionalis? Bagaimana menurut Anda?


[1]  Dikatakan Modernis, mengacu pada tipologi yang dimunculkan oleh Daliar Noer tatkala menuliskan tentang NU dan Muhamadiyah. Pun dalam tulisan Ahmad Zaini dalam KH. Abdul Wahid Hasyim; Pembaharu Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan.
 [2]Istilah ini mengacu pada “keyakinan” Muhamad Abduh dalam gerakan pemurnian Islam dilanjut oleh Rasyid Ridlo, dll.

Romadhonku:
"Orang merelakan romadhon demi lebaran. demi persiapan lebaran, tarawihpun ditinggalkan. kata seorang pengamat sosial, (tinggal di cempaka Putih, Jakpu0s), budaya Masyarakat kita yang lebih memilih lebaran dari pada romadhonnya perlu dilirik kembali. so... romadhon or lebaran, mana yang dibanggakan?"

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites