Rabu, 05 Desember 2012

MAHASISWA; Siapa, Ada Apa, dan Harus Bagaimana?


Oleh Abdur Rahim[1]

Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia  bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa kejujuran
(Naskah Sumpah Mahasiswa)
Prawacana
Diskursus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir semua kalangan masyarakat. Dalam konteks kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran (gerakan) mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa.
Sudah 65 tahun kemerdekaan bangsa kita sejak proklamasi, pergantian pemimpin sudah berulangkali terjadi, namun apakah kemerdekaan yang hakiki sudah tercapai? Secara kasat mata kita masih banyak melihat sebagian rakyat kita masih dalam kondisi menjerit dalam kelaparan, kemiskinan, penderitaan berkepanjangan, kekurangan, itu semua bukan karena bencana alam atau mereka malas bekerja. Siapa kemudian yang bias memperjuangkan nasib mereka? Kemanakah para anak muda bangsa?
Mahasiswa; Siapa Dia?
Sebagai sebuah konsep, pengertian tentang mahasiswa masih sering menjadi perdebatan. Perdebatan itu timbul karena mahasiswa di dalam konsepsi dan realitas kenyataannya masih dipandang dari satu aspek saja dari sekian banyaknya kompleksitas pengertian dan realita kehidupan suatu golongan masyarakat.
Dalam definisi pemerintah, PP nomor 30 tahun 1990 dijelaskan bahwa “mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu”. Dalam perspektif lain, mahasiswa juga dapat dikatakan “sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya”. Mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, atau kelompok politik, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah ruatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut. Menurut Arief Budiman dalam bukunya yang berjudul “Mahasiswa Menggugat” mengatakan bahwa mahasiswa adalah agent of social change (agent perubahan sosial) dan director of change (pengarah perubahan) yang berpihak pada keadilan sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
Secara singkat dan sederhana, mahasiswa dapat di bagi menjadi dua, yaitu; Pertama, mahasiswa sebagai individu. Mahasiswa adalah individu yang sedang melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tugas pokok mahasiswa adalah untuk mendapatkan keahlian/ketrampilan berdasarkan suatu/sejumlah ilmu tertentu. Kedua, Mahasiswa sebagai suatu kelompok. Kelompok mahasiswa adalah bagian dari unsur masyarakat sipil, yaitu suatu masyarakat yang melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, otonom dari negara dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Karena itu ketika kita berbicara tentang mahasiswa maka sebenarnya yang kita bicarakan adalah tentang gerakan mahasiswa. Mahasiswa sebagai suatu gerakan adalah suatu kelompok masyarakat yang memiliki karakter kritis, independen, dan obyektif. Impelmentasi dari hal ini diwujudkan dalam karakter gerakannya. Gerakan mahasiswa biasanya dilakoni oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan di tingkatan kampus maupun di luar kampus sebagai wujud dari peran mahasiswa ditengah masyarakat. Gerakan mahasiswa memiliki prinsip sebagai gerakan moral yaitu gerakan mahasiswa dibangun diatas nilai-nilai ketidakadilan atau kesewenang-wenangan kekuasaan. Sebagai gerakan moral, mahasiswa melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah sebagai upaya artikulasi kepentingan masyarakat atau sebagai penyambung lidah rakyat.
Sedangkan menurut tipologinya mahasiswa yang ditinjau dari perilaku-; pertama, mahasiswa hedonis yaitu mahasiswa yang berbudaya hura-hura dan cenderung berfikir terbelakang karena mahasiswa tersebut dilatarbelakangi dengan ekonomi yang mapan.
Kedua, mahasiswa normative-akademis. Yaitu mahasiswa yang dalam kesehariannya hanya kuliah dan selalu mengejar nilai akademik. Mahasiswa yang seperti ini biasanya sulit bergaul dengan lingkungan dan sosial. Kondisinya terbentuk dali logika positivistik.
Ketiga, mahasiswa kritis. Yaitu individu atau mahasiswa yang selalu berfikir kedepan terhadap kondisi sosial-global. Ia selalu merasa tidak puas serta selalu “gelisah” dengan ketimpangan sosial. Model mahasiswa yang demikian cenderung terbuka, kreatif dan mudah bergaul serta memiliki visi perubahan yang besar untuk kemajuan dan kesejahteraan.
Ada apa dengan sejarah Mahasiswa?
Dalam kilasan sejarah, Indonesia mencatat perjuangan mahasiswa dan pemuda dalam memainkan peran memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa, sebelum masa  kemerdekaan sampai era reformasi.
Gerakan ini diawali para tahun 1908, tepatnya Mei 20. Manifestasi  gerakan nasionalisme yang dipelopori oleh dr. Soetomo dan dr. Wahidin Sudiro Husodo dalam sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo yang kemudian disinyalir menjadi pelopor kebangkitan pemuda bangsa. Gerakan ini adalah refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Dilanjut pada 28 Oktober 1928 para pemuda dan mahasiswa melakukan ikrar untuk mempersatukan bangsa dengan slogan sumpah pemuda.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, yang diresmikn pada 17 Agustus 1945, kita kenal dengan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia dan mengangkat Ir. H. Soekarno sebagai presiden pertama RI. Sebelum prosesi proklamasi tersebut, kejadian penculikan yang dilakukan oleh pemuda (mahasiswa) karena belum adanya keputusan dari jepang. Artinya, jika tidak adanya rekayasa rengas dengklok yang dilakukan oleh mahasiswa, maka proklamasi tidak akan terjadi pada saat itu (baca: 17-08-1945).
Dalam proses pengembangan pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan sosial, masa kepemimpinan soekarno, masih banyak kekurangan. Diantaranya adalah dibidang ekonomi-politik yang menjadi titik berat program pemerintah. Hal ini menjadi fokus utama pengamatan mahasiswa pada saat itu. Angkatan ’66 yang terkenal dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang mempelopori tentang persoalan tersebut serta menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan, dampak dari gerakan ini kemudian muncullah tritura[2] (tiga tuntutan rakyat) yang kemudian berbuntut pada lengsernya kekuasaan Soeakarno.
Kemudian, setelah pergantian rezim dari Soekarno (baca: Orla) pada rezim berikutnya, Soeharto (baca: Orba), banyak sekali gerakana-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menentang kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974, sehingga mahasiswa dilarang ikut andil dalam percaturan politik praktis di dalam kampus. Gerakan mahasiswa masa ini sampai pada titik puncak Mei 1998 dengan adanya tragedi semanggi dan lainnya yang kemudian pada berakhirnya orde baru, rezim Soeharto.
Era reformasi sampai sekarang masih terus bergaung dimana mahasiswa terus melakukan peran dan tugasnya mengemban amanat rakyat. Adanya pergantian kepemimpinan sekaligus mengubah pola dan tatanan pemerintahan dan mahasiswa selalu memantau kegiatan pemerintah dan menindak setiap kebijakan yang merugikan rakyat.
1998, adalah situasi dimana Indonesia menjadi negara demokrasi. Kran-kran politik dan demokrasi terus terbukadan mengalir deras.lebih elegan dan egaliter bagi bangsanya. Lantas bagaimana kemudian?
Peran dan Visi Kerakyatan; Menuai Tanggungjawab Kemanusiaan
Dalam posisi kran terbuka sebagai dampak dari reformasi 1998, mahasiswa sebagai penerus keberlanjutan bangsa dan budaya yang adiluhung –dalam hal ini penulis sebut dengan Guardian of Value- sesuai dengan cita-cita kemerdekaan memiliki tugas berat. Diakui atau tidak, “pekerjaan rumah” mahasiswa pasca reformasi masih banyak dan berat. Pasalnya, gerakan yang dilakukan pada 1998 adalah gerakan penumbangan rezim ketidak-adilan dan ketidakjujuran. Namun, pembangunan system pasca itu belum terfikirkan secara tuntas oleh mahasiswa dikala itu.
Sekali lagi, dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama”. Artinya, urgensi atau peranan mahasiswa dalam mewujudkan Negara Kesatuan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Termasuk juga dalam peranan mempertahankan keseimbangan atas gejolak yang ada. Mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama” dalam gerakan perubahan di Indonesia, pasca Orde Baru.
Seiring dengan berjalannya waktu, sebagai Negara yang memiliki system baru, Indonesia tidak pernah lepas dari konstelasi dunia (global). Dalam sejarah Indonesia, banyak bukti yang menunjukkan bahwa Indonesia sering dikendalikan oleh wacana “asing” yang (terkadang) berwatak imperialistik. Bangsa Indonesia sering dijejali dan atau terpukau dengan wacana dari “luar” yang (lagi-lagi terkadang) membuat Indonesia masuk dalam lingkaran hegemoni. Lebih lanjut lagi, persoalan ini memang bukan sekedar dikotomi antara “Barat” dan “Timur”, yang berwatak dangkal dan picik. Akan tetapi, adalah persoalan bahwa wacana tersebut yang (kebetulan) berasal dari “Barat” itu sering berefek menjajah atau menelikung. Indonesia lantas tidak sekedar masuk dalam lingkaran wacana (Barat) yang menggerus dirinya. Akan tetapi, juga masuk dalam cengkraman imperialisme global yang sangat hegemonik. Indonesia dijajah dan dikendalikan, misalnya dari aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi, kebudayaan dan seterusnya.
Kembali pada pokok persoalan, posisi dan peran apa dan yang mana dari mahasiswa dan pemuda yang harus didekonstruksi.  Posisi yang dimainkan oleh orang muda dan mahasiswa dapat berarti negatif, semisal menjadi pelayan penguasa, broker politik, pragmatis,  organisasi “dijual” demi sejumlah uang tertentu. Demikian juga dengan peran mahasiswa dapat juga bermakna negatif. Mahasiswa yang “membisu” dengan masalah Aids, pemiskinan, penindasan, dan lainnya sekitar lingkungannya adalah mahasiswa yang berperan melanggengkan masalah sosial tersebut menggurita.
Posisi Mahasiswa tidak harus berada di depan perjuangan warga masyarakat, posisi mahasiswa adalah posisi yang sederajat atau yang disebut “egalitarian”, acapkali ini kurang disadari mahasiswa, lantaran bersemangat, maunya selalu di depan. Tidak.
Habermas mengatakan “Ketika menginginkan wujud nyata kepedulian ilmu pengetahuan terhadap kemasyarakatan jika pada masa klasik dan modern ilmu pengetahuan diharuskan bebas dari kepentingan maka sudah saatnya ilmu pengetahuan berpihak pada kemanusiaan.”
Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa (seharusnya) mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat bahwa social change (perubahan sosial) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya perlawanan mahasiswa.
Maka dari itu, sebagai mahasiswa yang memilih untuk memiliki “nilai plus” katakanlah dengan teriakan lantang. “Saya adalah anak bangsa. Kejujuran, Tanpa penindasan, dan keadilan adalah jalan surga.” Wallahu a’lam.



[1] Pemuda Desa Selok Anyar dan Santri Sarifuddin Wonorejo Lumajang
[2] Adapun isi Tritura tersebut adalah, 1) Turunkan harga sembako; 2) bubarkan PKI; 3) Perombakan Kabinet Dwi Kora.

Kamis, 13 September 2012

SYI’AH DAN (INKLUSIVISME) PMII; Sebuah Catatan

Oleh: Abdur Rahim Idung*

Prakata
Kasus penyerangan terhadap warga Syi’ah di Sampang Madura menuai pro dan kontra. Banyak ormas dan organisasi kemahasiswaan mengecam tindak kekerasan tersebut. Tindakan yang dianggap melanggar HAM, tidak berprikemanusiaan, dan lain sebagainya. Disamping juga dukungan terhadap tindak tersebut melalui forum diskusi atau halaqoh-halaqoh oleh kalangan tertentu.
Terlepas dari issu yang “cenderung” dibuat-buat oleh kelompok yang berkepentingan. Dimanakah posisi PMII? Sebagai entitas intelektual yang berlandaskan faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan semangat keadilan, kemanusiaan, solidaritas yang tinggi, PMII perlu memposisikan diri sebagai bagian dari proses itu. Maka, keberadaan PMII tidak hanya sebagai counter discours (wacana tandingan). Lantas, seperti apa seharusnya sikap PMII dalam ketatnya dialektika keagamaan yang terjadi? Serta bagaimana PMII menyo’al tragedi Sampang?
Apa itu Syi’ah? serta perbedaan dengan Sunni.
Secara sederhana, Syi’ah adalah pengikut amirul mukminin Ali bin Abi Thalib AS atas dasar mencintai dan meyakini kepemimpinannya sesudah wafatnya Rasulullah SAW tanpa terputus (oleh orang lain). Tidak mengakui kepemimpinan orang sebelum Sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris kedudukan khalifah dan hanya meyakini Ali sebagai pemimpin, bukan mengikuti salah satu dari orang-orang sebelumnya (Abu Bakar, Umar dan Utsman). Namun, kemunculan kelompok (baca: firqoh) ini awali dengan kejadian tahkim antara Sahabat Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan dan memuncak pasca terbunuhnya Husein bin Ali di Karbala.
Dalam ajaran Syi’ah, pemimpin (imamah) berjumlah 12 (dua belas) yang wajib diimani dan dipatuhi. Mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Hasan bin Ali al-Zaky, Husein bin Ali al-Syahid, Ali bin Husein ZainalAbidin, Muhammad bin Ali al-Baqir, Ja’far bin Muhammad al-Shodiq, Musa bin Ja’far al-Kadzim, Ali bin Musa al-Ridho, Muhammad bin Ali al-Jawwad, Ali bin Muhammad al-Hadi, Hasan bin Ali al-‘Askari, dan Muhammad bin Hasan al-Mahdi (Imam al-Mahdi).
Syi’ah terpecah menjadi beberapa madzahib (baca: kelompok atau alairan), yaitu, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.
Kaitannya dengan Ahlussunnah Wal-Jama’ah memang ada perbedaan mendasar. Dari rukun-rukun Islam misalnya, bagi Syi’ah, rukun Islam yang diyakini adalah sholat, zakat, puasa, haji, wilayah, yaitu pengakuan kepemimpinan (khalifah) Sahabat Ali bin Abi Tholib serta anak cucunya. Sedangkan dalam rukun iman ada lima, yaitu al-Tauhid, al-Nubuwwah, al-Imamah, al-’Adlu (Keadilan), al-Ma’aad (akhirat). Selain itu, perbedaan mendasar (meyakini) pada teks al-Qur’an dan hadits. Bagi Syi’ah, terdapat nash Al-Qur’an dan hadits yang sudah tidak otentik lagi karena perubahan-perubahan yang dilakukan oleh golongan pro khalifah sebelum Ali. Sementara kaum Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa nash Al-Qur’an terjaga otentitasnya, pun demikian denga hadits.
Perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah (baca: PMII) dan Syi’ah sudah jelas, yaitu teologis. Tidak hanya itu, Mbah Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa madzhab yang menjadi landasan pijak kaum Syi’ah adalah Bid’ah. secara subtantif teologis, tidak ada keterkaitan antara keduanya. Namun, demikian, dari aspek kemanusiaan dan hokum, antara keduanya adalah sama.
Nilai-nilai yang diperjuangkan dan dijunjung tinggi oleh PMII, sesuai dengan Nilai Dasar Pergerakan, adalah hablun min an-nas (relasi humanistik) atau yang disebut dengan ukhuwah insaniyah.
PMII, Menyo’al Kasus Sampang
Sebagai kaum yang egaliter dan tidak konservatif, PMII meyakini bahwa hakikat kemanusiaan tidak hanya diukur dari segi keyakinan teologis an sich. Hak hidup menjadi persoalan yang selalu harus diperjuangkan oleh sesama umat manusia, terlebih sesama muslim. Perbedaan teologis atau keyakinan tidak menjadi jarak dalam berintraksi.
Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Sebagai agama kemanusiaan, Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Manusia digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai makhluk yang paling sempurna dan harus dimuliakan. Bersandar dari pandangan kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam Islam tidak lain merupakan tuntutan dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya.
Sedangkan hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya. Namun demikian, Islam menekankan bahwa pada setiap hak manusia terdapat hak Allah; meskipun seseorang berhak memanfaatkan hartanya, tetapi ia tidak boleh menggunakan harta keluarganya untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran Allah. Keadilan sebagai inti ajaran Islam menekankan bahwa hak kepemilikan harus memiliki nilai sosial.
Keyakinan yang kita pahami kemudian semestinya bukan hanya sebagai sarana beragama untuk menghadap Tuhan di tempat beribadah, tapi juga sebagai sarana ‘menghadap’ kepada-Nya di mana saja, berupa amalan nyata  untuk mengatasi problem sosial kemanusiaan. Oleh karena itu, sungguh bukan tindakan yang simpati apabila seseorang ataupun lembaga dengan gampang mentakfirkan tindakan ataupun pemikiran kelompok atau individu lain.
Dalam konteks kebangsaan, ijtihad PMII dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dan pancasila diwujudkan dalam membela keadilan dan kebenaran terhadap siapa saja dengan semangat tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), tawazun (seimbang) dan ta’adul (tegak lurus). Kehadiran PMII juga (akan) menjadi problem solver atas konservatisme kelompok tertentu. Bukan berarti PMII hadir dengan wajah libarilisme, akan tetapi, hadir dengan membawa Islam Inklusif dan akomodatif terhadap seksama.
Tragedi penyerangan kelompok Syi’ah di Sampang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Bahwa, hakikat dan hak untuk hidup sangat penting dan berharga. Tindakan saling kecam tidak akan membantu Negara dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Maka, segala tindakan penistaan agama tidaklah patut dan perlu untuk ditindaklanjuti secara hukum. Wallahu a’lamu bissowab.

Senin, 10 September 2012

Al-Jahiz, Intelektual Muslim Banyak Karya

Al Jahiz ( الجاحظ), nama aslinya Abu Amr Usman bin Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Bashri,  adalah seorang ilmuwan terkenal  keturunan Arab Negro dari Timur Afrika, dilahirkan pada lahir di Basra, c. 781 - 868 Desember atau Januari 869 M. Kakek beliau adalah seorang seorang budak  Negro (Zanj). Al Jahiz dikenal sebagai penulis untuk : 

  • Prosa Arab
  • Sastra Arab
  • Biologi, 
  • Zoologi, 
  • Sejarah, 
  • Filsafat Islam awal, 
  • Psikologi Islam, 
  • Teologi (ajaran) Mu'tazilah dan 
  • Polemik dalam politik-agama.

Kehidupan awal Al Jahiz tidaklah banyak yang diketahui selain daripada informasi mengenai keluarganya yang sangat miskin. Al Jahiz pada awalnya dipekerjakan untuk menjual ikan di sepanjang salah satu kanal air di Basra untuk membantu keluarganya. Namun, meskipun keuangan keluarganya sulit tidak menghentikan semangat Al Jahiz untuk mencari pengetahuan sejak masa mudanya. Cara yang digunakannya untuk mencari Ilmu Pengetahuan diantaranya dengan rajin berkumpul dengan sekelompok pemuda di masjid utama Basra yang biasa mendiskusikan berbagai subyek ilmu pengetahuan. Dia juga rajin mengikuti berbagai kuliah yang dilakukan dari para ahli filologi, leksikografi, dan puisi.
Selama rentang dua puluh lima tahun melanjutkan studinya, Al Jahiz telah memperoleh pengetahuan besar tentang puisi Arab, Filologi Arab, sejarah Arab dan Persia sebelum Islam, dan ia mempelajari Alquran dan Hadis. Ia juga membaca buku-buku diterjemahkan dari para filsafat Yunani dan Helenistik, khususnya Aristoteles. Salah satu keberuntungan Al Jahiz dalam mencari ilmu ialah karena dizaman itu, Khalifah Abbasiyah sedang dalam fase kebangkitan budaya dan revolusi Intelektualitas, sehingga pendidikannya sangat difasilitasidiantaranya dengan banyaknya buku yang tersedia, sehingga belajar segala hal semakin mudah dilakukan.

Karir Al Jahiz

Di Basra, Al-Jahiz menulis artikel tentang institusi kekhalifahan. Hal ini kemudian menjadi awal karirnya sebagai penulis, yang akan menjadi satu-satunya sumber hidupnya. Dikatakan bahwa ibunya pernah menawarkan sebuah nampan penuh dengan buku catatan dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan mencari nafkah dari menulis. Sejak itu, ia telah menulis dua ratus buku sepanjang hidupnya yang membahas berbagai subyek termasuk tata bahasa Arab, zoologi, puisi, leksikografi, dan retorika. Dia menulis sejumlah buku luar biasa, yang dapat bertahan tiga puluh bertahan (ditinjau dari teknologi penulisan dizaman itu, hal ini merupakan sesuatu yang sangat fantastis dizamannya).
Pada tahun 816 M, Al Jahiz pindah ke Baghdad yang dikala itu merupakan ibukota kekhalifahan Islam Arab. hal ini awalnya didasarkan atas kebijaksanaan Khalifah Abbasiyah yang mengumpulkan para ilmuwan dengan mendirikan Rumah Kebijaksanaan sebagai pusat penelitian. Setelah ke Baghdad, bAl Jahiz kemudian pindah ke Samara dengan tujuan untuk mendapatkan pembaca yang lebih banyak dan agar dapat lebih mengembangkan dirinya. Di Kota inilah sejumlah besar buku-bukunya ditulis. Dikatakan bahwa Khalifah al-Ma'mun pernah meminta  Al Jahiz untuk mengajar anak-anaknya, tapi kemudian beliau berubah pikiran ketika anak-anaknya takut akan kerusakan yang terjadi pada matanya (جاحظ العينين), dikatakan peristiwa inilah yang melatarbelakangi nama  julukannya.

Karya - karya Al Jahiz


Kitab al-Hayawan (Buku tentang Hewan)
Salah satu Ilustrasi dalam Kitab Al Hayawan
Salah satu lembaran Manuskrip Al Hayawan yang tersimpan di Biblioteca Ambrosiana, Milan
Kitab al-Hayawan adalah sebuah ensiklopedia dari tujuh volume dari tulisan bebas, penjelasan puitis dan peribahasa menggambarkan lebih dari 350 jenis binatang. Hal ini dianggap sebagai karya paling penting Al Jahiz.
Dalam Kitab Al Hayawan, al-Jahiz adalah orang pertama yang mengeluarkan ide bahwa habitat hewan mempengaruhi kehidupan dan bentuknya, yang mana dikemudian hari hal ini menjadi teori dasar dari pembentukan Teori Evolusi Darwin 9dan merupakan hal yang tidak dapat dijawab oleh Charles Darwin). Al-Jahiz menganggap bahwa dampak lingkungan berpengaruh terhadap kemungkinan seekor binatang untuk bertahan hidup, dan  hal pertama yang dilakukan ialah menggambarkan perjuangan untuk keeksistensiannya dari keberlangsungan seleksi alam semenjak nenek moyang hewan tersebut.Kesimpulan dari teori Al Jahiz tentang perjuangan untuk eksistensi dalam Kitab Al Hayawan telah diringkas sebagai berikut:
"Hewan harus berjuang untuk eksistensinya (jenisnya), untuk sumber daya yang tersisa, untuk menghindari dimakan dan untuk berkembang biak. Faktor lingkungan turut mempengaruhi suatu organisme untuk mengembangkan karakteristik baru untuk memastikan kelangsungan hidup jenisnya akan berubah menjadi spesiaes yang baru. Hewan yang bertahan akan berkembang biak dan mewariskan karakteristik (hasil perjuangan) mereka kepada keturunan. " (Gary Dargan, Intelligent Design, Encounter, ABC)
Al-Jahiz juga yang pertama untuk membahas tentang rantai makanan, dan menulis contoh berikut dari rantai makanan: (Frank N. Egerton, "Sejarah dari Ilmu Ekologi, Bagian 6: Ilmu Bahasa Arab - Asal-Usul dan" Zoologi, Buletin Ecological Society of America, 2002 April: 142-146 [143] )
"Nyamuk akan pergi mencari  makanan mereka, yang mereka tahu secara naluri alamiah (insting) bahwa darah adalah hal yang membuat mereka tetap hidup. Begitu mereka melihat gajah, kuda nil atau hewan lain, mereka tahu bahwa kulit telah dibentuk untuk melayani mereka sebagai makanan, dan jatuh di atasnya, mereka menusukan giginya sampai dia yakin bahwa kedalamannya telah cukup untuk menghisap darah. Begitu juga lalat, walaupun mereka hinggap pada berbagai jenis makanan, namaun pada prinsipnya melakukan hal yang sama dengan nyamuk. Dan pada kesimpulannya, semua hewan tidak bisa bertahan tanpa makanan, ada yang dengan  berburu hewan dan ada yang diburu. "
Pada abad ke-11, al-Khatib al-Baghdadi menuduh Al-Jahiz telah menjiplak beberapa bagian dari Kitab Hewan karya Aristoteles, (Peters, F. E., Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam , New York University Press, NY, 1968.) tapi para ahli modern telah menemukan bahwa pengaruh Aristoteles sedikit sekali dalam hasil karya Al Jahiz (al-Baghdadi mungkin tidak begitu memahami dengan karya Aristoteles secara mmendalam) pada subjek. (Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam by FE Peters", Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London 34 (1), p.). Secara khusus, bahkan dikatakan bahwa Aristoteles tidak memilki pengaruh apapun dalam teori yang dikemukan Al Jahiz Ide mengenai seleksi alam, determinisme lingkungan dan rantai makanan.
Kitab al-Bukhala (Kitab Misers atau keserakahan & ketamakan)
Kumpulan cerita tentang serakah. Humoris dan menyindir, itu adalah contoh terbaik dari gaya prosa Al-Jahiz '. Kitab ini mencerminkan penelitian mendalam dari seorang manusia psikolog. Jahiz menertawakan guru-guru sekolah, pengemis, penyanyi dan ahli-ahli Taurat untuk perilaku serakah mereka. Banyak cerita dari buku ini yang terus dicetak ulang dalam majalah di seluruh dunia yang berbahasa Arab. Buku ini dianggap sebagai salah satu karya terbaik Al Jahiz.
Kitab al-Bayan wa al-Tabyin  (Buku kefasihan dan Penjelasan)
Al Jahiz dianggap sebagai salah satu penulis yang paling terkenal sepanjang masa, karena ia diyakini telah menulis selama hidupnya sekitar 360 buku, dari seluruh lapisan pengetahuan dan hikmat waktunya, al bayan wa tabyeen yang secara harfiah berarti Fasih dan Penjelasan, adalah salah satu karya terakhirnya, di mana ia mendekati berbagai mata pelajaran, seperti pengalaman luar biasa, pidato retoris, pemimpin sektarian, pangeran, serta memberikan perlakuan sinis dan gila dari orang bodoh. Hal ini juga melahirkan sebuah buku di mana ia menyatukan keterampilan dan kefasihan bahasanya , seni keheningan dan seni puisi.
Buku ini dianggap salah satu karya teori sastra dan kritik sastra bahasa Arab paling awal dalam. ( van Gelder, G. J. H. (1982), Beyond the Line: Classical Arabic Literary Critics on the Coherence and Unity of the Poem , Brill Publishers , pp. 1-2, ISBN 9004068546)
Kitab al Jawari wal Moufakharat Ghilman (Kitab puji-pujian dari selir dan kasim)
Dalam bahasa Arab kata jawari adalah jamak dari jariya, berarti seorang hamba perempuan, yang dalam bahasa kita hari ini dikenal dipanggil "selir". Ada dua jenis hamba perempuan: jariya - salah satu yang mengelola rumah tangga dan menjalankan tugas sehari-hari, adalah tipe pertama. Tipe kedua dulu disebut qina (juga dieja qaena). Mereka adalah jariya yang memiliki kemampuan untuk bernyanyi, yang menempatkan dirinya di atas jariya biasa. Seringkali, gadis budak jenis itu mendapatkan banyak uang dan bermetafora menjadi putri-putri mewah dan pedagang kaya. Kata lain dalam judul, ghilman, adalah jamak dari ghoulam kata yang mungkin diterjemahkan kasim, castrato, atau pelayan pria. Bagi kebanyakan ahli kitab puji-pujian pada selir dan kasim adalah buku nakal dari sensualitas, dalam buku ini Al Jahiz menceritakan kita dengan cerita-cerita yang bersifat erotis yang berhubungan dengan persepsi seksualitas pada masanya.
Mufakharat Risalat al-sudan 'ala al-bidan (Keunggulan Si Hitam dari Si Putih)
Al-Jahiz menulis sebagai berikut pada orang kulit hitam:
"Kami (dalam cerita ini ialah Etiopia) telah menaklukkan negeri orang Arab sejauh Mekah dan memerintah mereka yang telah dikalahkan. Kami mengalahkan Dzhu Nowas (Seorang Raja Yahudi Yaman) dan membunuh semua Keluarga Kerajaan, tetapi Anda, Si Putih, tidak pernah menaklukkan negeri kami. Suku kami, Zenghs (Negro dari Pantai Timur Afrika) memberontak empat puluh kali di Eufrat, mendorong penduduk dari rumah mereka dan membuat Oballah mandi darah penting. Si Hitam kuat secara fisik tidak dan tidak ada suku lain yang mengalahkannya. Seorang Hitam bisa mengangkat batu berat dan membawa beban yang lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh beberapa orang Si Putih. Mereka berani, kuat, dan berbagai generasi telah menjadi saksi akan kehebatan  dan  kurangnya kelemahan mereka. Si Hitam berkata kepada orang Arab, 'Sebuah tanda kebiadaban Anda adalah bahwa ketika Anda kafir Anda menganggap kami sama dengan perempuan ras Anda. Setelah menganut Islam, Anda pikir kebalikannya. Meskipun ini segerombolan padang pasir dengan jumlah laki-laki kami yang menikah dengan wanita Anda dan yang menjadi pemimpin dan membela Anda melawan musuh Anda '".( Yosef AA Ben-Jochannan (1991), African Origins of Major Western Religions , p. 231, 238)
The Essays
Dalam risalah-Nya itu Essay, dia menulis sebuah bab berjudul "Pada" Zanj, di mana Zanj berarti orang kulit hitam, yang ia memuji dan menggunakan determinisme lingkungan untuk menjelaskan mengapa mereka hitam:[17]
"Semua orang setuju bahwa tidak ada orang di bumi yang kemurahan hati adalah sebagai universal juga dikembangkan sebagai Zanj. Orang-orang ini memiliki bakat alami untuk menari mengikuti irama rebana, tanpa perlu mempelajarinya. Tidak ada penyanyi yang lebih baik di mana saja di dunia, tidak ada orang yang lebih halus dan fasih, dan tidak ada orang yang kurang diberikan kepada bahasa menghina ketangguhan. lainnya No bangsa dapat melampaui tubuh mereka dalam kekuatan fisik dan. Salah satu dari mereka akan mengangkat blok besar dan membawa beban berat yang akan melebihi kekuatan Badui sebagian besar atau anggota ras lain.. Mereka berani, energik, dan murah hati, yang merupakan kebajikan bangsawan, dan juga baik-marah dan kecil dengan kecenderungan untuk jahat Mereka selalu ceria, tersenyum, dan tanpa niat jahat, yang tanda karakter yang mulia. "
"Para Zanj mengatakan bahwa Tuhan tidak membuat mereka hitam untuk menjelekkan mereka, melainkan mereka adalah lingkungan yang membuat mereka begitu. Bukti terbaik dari hal ini adalah bahwa ada di antara suku-suku Arab hitam, seperti Bani Sulaim bin Manshur, dan bahwa semua bangsa menetap di Harra, selain Bani Sulaim berwarna hitam. Ini suku mengambil budak dari antara mereka pikiran Ashban untuk ternak dan irigasi untuk pekerjaan manual, tenaga kerja, domestik dan pelayanan, dan istri dari antara Bizantium; dan namun memakan waktu kurang dari tiga generasi untuk Harra untuk memberi mereka semua kulit dari Bani Sulaim. Harra ini adalah seperti bahwa rusa, burung unta, serangga, serigala, rubah, domba, keledai, kuda dan burung yang tinggal di sana semua hitam dan. Putih hitam adalah hasil dari lingkungan, sifat alami dari air dan tanah, jarak dari matahari, dan intensitas panas. Tidak ada pertanyaan tentang metamorfosis, atau hukuman, pengrusakan atau mendukung dijatuhkan oleh Allah,. Selain tanah dari Bani Sulaim memiliki banyak kesamaan dengan negeri Turki, di mana unta, kuda beban, dan segala sesuatu milik orang-orang ini sangat mirip: segala sesuatu dari mereka memiliki tampilan Turki. "
Karya lain
Karya paling awal pada psikologi sosial dan psikologi hewan ditulis oleh al-Jahiz, yang menulis sejumlah karya berurusan dengan organisasi sosial dari semut dan dengan binatang komunikasi dan psikologi.(Amber Haque (2004), "Psikologi dari Perspektif Islam: Kontribusi Awal Cendekiawan Muslim dan Tantangan ke Psikolog Muslim Kontemporer", Jurnal Agama dan Kesehatan 43 (4): 357-377 [376])
Wafatnya Al Jahiz
Al-Jahiz kembali ke Basra setelah menghabiskan lebih dari lima puluh tahun di Baghdad. Dia meninggal di Basra pada 869 AD. Penyebab pasti kematian-Nya tidak jelas, tetapi kisah populer adalah bahwa sebuah kecelakaan, di mana tumpukan buku-buku di  perpustakaanpribadinya, terguling dan menghimpitnya dia dan menyebabkan kematiannya. Ia meninggal pada usia 93. Versi lain mengatakan bahwa ia menderita sakit dan meninggal pada bulan Muharram (Al-Jahiz: INTRODUCTION." Classical and Medieval Literature Criticism . Ed. Daniel G. Marowski. Vol. 25. Gale Group, Inc., 1998. eNotes.com. 2006. 13 Sep, 2007)

Senin, 13 Agustus 2012

SYI’ IR TANPO WATON “GUS DUR”



أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا     *    أَسْتَغْفِرُ اللهْ مِنَ الْخَطَايَا
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا     *       وَوَفِّقْنِي عَمَلاً صَالِحَا
ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ      *    يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَ الدَّرَجِ
عَطْفَةً يَّاجِيْرَةَ الْعَالَمِ      *      يَا أُهَيْلَ الْجُودِ وَالْكَرَمِ

Ngawiti ingsun nglaras syi’iran …. (aku memulai menembangkan syi’ir) 
Kelawan muji maring Pengeran …. (dengan memuji kepada Tuhan)

Kang paring rohmat lan kenikmatan …. (yang memberi rahmat dan kenikmatan)

Rino wengine tanpo pitungan 2X …. (siang dan malamnya tanpa terhitung)
Duh bolo konco priyo wanito …. (wahai para teman pria dan wanita)

Ojo mung ngaji syareat bloko …. (jangan hanya belajar syari’at saja)

Gur pinter ndongeng nulis lan moco … (hanya pandai bicara, menulis dan membaca)

Tembe mburine bakal sengsoro 2X …. (esok hari bakal sengsara)
Akeh kang apal Qur’an Haditse …. (banyak yang hafal Qur’an dan Haditsnya)

Seneng ngafirke marang liyane …. (senang mengkafirkan kepada orang lain)

Kafire dewe dak digatekke …. (kafirnya sendiri tak dihiraukan)

Yen isih kotor ati akale 2X …. (jika masih kotor hati dan akalnya)


Gampang kabujuk nafsu angkoro …. (gampang terbujuk nafsu angkara)

Ing pepaese gebyare ndunyo …. (dalam hiasan gemerlapnya dunia)

Iri lan meri sugihe tonggo … (iri dan dengki kekayaan tetangga)

Mulo atine peteng lan nisto 2X … (maka hatinya gelap dan nista)
Ayo sedulur jo nglaleake …. (ayo saudara jangan melupakan)

Wajibe ngaji sak pranatane … (wajibnya mengkaji lengkap dengan aturannya)

Nggo ngandelake iman tauhide … (untuk mempertebal iman tauhidnya)

Baguse sangu mulyo matine 2X …. (bagusnya bekal mulia matinya)
Kang aran sholeh bagus atine …. (Yang disebut sholeh adalah bagus hatinya)

Kerono mapan seri ngelmune … (karena mapan lengkap ilmunya)

Laku thoriqot lan ma’rifate …. (menjalankan tarekat dan ma’rifatnya)

Ugo haqiqot manjing rasane 2 X … (juga hakikat meresap rasanya)
Al Qur’an qodim wahyu minulyo … (Al Qur’an qodim wahyu mulia)

Tanpo tinulis biso diwoco … (tanpa ditulis bisa dibaca)

Iku wejangan guru waskito … (itulah petuah guru mumpuni)

Den tancepake ing jero dodo 2X … (ditancapkan di dalam dada)
Kumantil ati lan pikiran … (menempel di hati dan pikiran)

Mrasuk ing badan kabeh jeroan …. (merasuk dalam badan dan seluruh hati)

Mu’jizat Rosul dadi pedoman …. (mukjizat Rosul(Al-Qur’an) jadi pedoman)

Minongko dalan manjinge iman 2 X … (sebagai sarana jalan masuknya iman)
Kelawan Alloh Kang Moho Suci … (Kepada Allah Yang Maha Suci)

Kudu rangkulan rino lan wengi ….. (harus mendekatkan diri siang dan malam)

Ditirakati diriyadohi … (diusahakan dengan sungguh-sungguh secara ihlas)

Dzikir lan suluk jo nganti lali 2X … (dzikir dan suluk jangan sampai lupa)
Uripe ayem rumongso aman … (hidupnya tentram merasa aman)

Dununge roso tondo yen iman … (mantabnya rasa tandanya beriman)

Sabar narimo najan pas-pasan … (sabar menerima meski hidupnya pas-pasan)

Kabeh tinakdir saking Pengeran 2X … (semua itu adalah takdir dari Tuhan)
Kelawan konco dulur lan tonggo … (terhadap teman, saudara dan tetangga)

Kang podho rukun ojo dursilo … (yang rukunlah jangan bertengkar)

Iku sunahe Rosul kang mulyo … (itu sunnahnya Rosul yang mulia)

Nabi Muhammad panutan kito 2x …. (Nabi Muhammad tauladan kita)
Ayo nglakoni sakabehane … (ayo jalani semuanya)

Alloh kang bakal ngangkat drajate … (Allah yang akan mengangkat derajatnya)

Senajan asor toto dhohire … (Walaupun rendah tampilan dhohirnya)

Ananging mulyo maqom drajate 2X … (namun mulia maqam derajatnya di sisi Allah)
Lamun palastro ing pungkasane … (ketika ajal telah datang di akhir hayatnya)

Ora kesasar roh lan sukmane … (tidak tersesat roh dan sukmanya)

Den gadang Alloh swargo manggone … (dirindukan Allah surga tempatnya)

Utuh mayite ugo ulese 2X … (utuh jasadnya juga kain kafannya)


ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ       *          يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَ الدَّرَجِ
عَطْفَةً يَّاجِيْرَةَ الْعَالَمِ       *           يَا أُهَيْلَ الْجُودِ وَالْكَرَمِ

Minggu, 12 Agustus 2012

Membumikan NDP PMII; Usaha Mempertahankan Pancasila*


Oleh : Abdur Rahim**

Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama”. Artinya, urgensi atau peranan mahasiswa dalam mewujudkan Negara Kesatuan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Termasuk juga dalam peranan mempertahankan keseimbangan atas gejolak yang ada. Mulai dari terbentuknya Negara Republik (baca: proklamasi), mahasiswa menjadi inisiator utama, seperti Soekarno, M. Hatta, dan lain-lain, sampai pada runtuhnya orde baru. Sekali lagi, mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama” dalam gerakan perubahan di Indonesia .Pasca Orde Baru.
Seiring dengan berjalannya waktu, sebagai Negara, Indonesia tidak pernah lepas dari konstelasi dunia (global). Dalam sejarah Indonesia, banyak bukti yang menunjukkan bahwa Indonesia sering dikendalikan oleh wacana “asing” yang (terkadang) berwatak imperialistik. Bangsa Indonesia sering dijejali dan atau terpukau dengan wacana dari “luar” yang (lagi-lagi terkadang) membuat Indonesia masuk dalam lingkaran hegemoni. Lebih lanjut lagi, persoalan ini memang bukan sekedar dikotomi antara “Barat” dan “Timur”, yang berwatak dangkal dan picik. Akan tetapi, adalah persoalan bahwa wacana tersebut yang (kebetulan) berasal dari “Barat” itu sering berefek menjajah atau menelikung.Indonesia lantas tidak sekedar masuk dalam lingkaran wacana (Barat) yang menggerus dirinya. Akan tetapi, juga masuk dalam cengkraman imperialisme global yang sangat hegemonik. Indonesia dijajah dan dikendalikan, misalnya dari aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi, kebudayaan dan seterusnya.
Selain itu, dari sudut pandang ideologis (khususnya), Indonesia beberapa tahun belakangan menjadi “kalang kabut”, sebut saja persoalan (baca: wacana) HAM dan Agama, issue tran-nasional yang kemudian sangat berdampak besar bagi keutuhan NKRI. Akhirnya, sebagai dampak dari itu, pancasila pun sebagai ideology Negara “sedikit” tergoncang eksistensinya (baca: keberadaannya).
Dari berbagai  permasalahan yang terjadi, bangsa Indonesia, akhirnya –diakui ataupun tidak- sedikit kehilangan karakter berkebangsaannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pergulatan ideologis antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain (rasikalisme dan liberalism) mulai dari semangat membentuk Negara Islam (baca: Khilafah Islamiyah) oleh beberapa kelompok sampai pada pengahapusan pancasila sebagai ideologi Negara. Termasuk juga hilangnya karakter nasionalisme dalam diri (sebagian) tokoh politik di Indonesia. Mengapa demikian? Dampak dari pergulatan tersebut, kemudian menjadikan masyarakat Indonesia (dunia pada umumnya) bersikap pragmatis, hedonis, dan berfikir positivistic-materialistik. Sehingga, “kejahatan” politik kemudian menjadi perihal yang permisif, sebut saja, korupsi yang merupakan kejahatan HAM.

PMII dan  Keutuhan Pancasila; Membumikan NDP PMII
Adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang merupakan organisasi keislaman yang berbasis pengkaderan dan bersifat keagamaan, kemahasiswaan, kebangsaan, kemasyarakatan, independensi dan professional , (seharusnya) mempunyai peranan penting dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi Negara yang kemudian menjadi landasan dalam membentuk karakter bangsa.Berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, perlu memperoleh perhatian khusus oleh para aktivis mahasiswa, khususnya PMII yang memang memiliki kerangka atau acuan dalam segala aktivitas gerakan yang dilakukan (baca: NDP). Kerangka acuan tersebut harus menjadi titik pijak gerakan dalam menghadapi berbagai permasalahan, termasuk dalam membentuk karakter berkebangsaaan.
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang notabene menjadi ideologi alternatif  dalam mengimbangi laju globalisasi, agar tercipta tatanan yang seimbang “tanpa tekanan dan dominasi”. Keberadaan Aswaja –sebagai ideologi yang ditawarkan- bisa mengadaptasi dengan situasi dan kondisi. Terntunya, segala langkah perubahan yang diambil harus tetap berlandaskan pada paradigm kaidah al-Muhafadzatu ala Qodim al-Sholih wa al-akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah, (meyamakan langkah dengan mempertahankan sebuah tradisi yang kondisinya masih baik dan relevan dengan masa kini atau berkolaborasi dengan nilai-nilai baru yang kenyataannya pada era kekinian dan masa mendatang akan lebih baik).Sementara Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII yang merupakan rumusan nilai-nilai yang diturunkan secara langsung dari ajaran Islam serta kenyataan masyarakat dan negeri Indonesia, dengan kerangka pendekatan Ahlussunnah wal-Jama’ah. NDP harus senantiasa menjiwai seluruh aturan organisasi, memberi arah dan mendorong gerak organisasi, serta menjadi penggerak setiap kegiatan organisasi dan kegiatan masing-masing anggota. Sebagai ajaran yang sempurna, Islam harus dihayati dan diamalkan secara kaffah atau menyeluruh oleh seluruh anggota dengan mencapai dan mengamalkan Iman (aspek aqidah), Islam (aspek syari’ah) dan Ihsan (aspek etika, akhlak dan tasawuf.Sebagai tempat hidup dan mati, negeri maritim Indonesia merupakan rumah dan medan gerakan organisasi. “Di Indonesia organisasi hidup, demi bangsa Indonesia organisasi berjuang”.
Sebagai tempat semai dan tumbuh  negeri Indonesia telah memberi banyak kepada organisasi. Oleh sebab itu, organisasi dan setiap anggotanya wajib memegang teguh komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. NDP adalah penegasan nilai atas watak keindonesiaan organisasi.
NPD PMII yang di dalamnya terdapat nilai ketuhanan (Tauhid), nilai ke-hamba-an sebagai seorang makhluk yang berelasi dengan penciptanya (Hablun minallah), nilai humanism (Hablun minannas), dan nilai kecitaan terhadap alam dan tanah air (hablun minal alam). Dan Ahlussunnah wal Jama’ah digunakan sebagai pendekatan berpikir (Manhaj al-Fikr) untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam.  Pilihan atas Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pendekatan berpikir dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam merupakan keniscayaan di tengah kenyataan masyarakat Indonesia yang serba majemuk. Dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengenal nilai kemerdekaan (al-Hurriyah), persamaan (al-Musawah), keadilan (al-’Adalah), toleransi (Tasamuh), dan nilai perdamaian (al-Shulh), maka kemajemukan etnis, budaya dan agama menjadi potensi penting bangsa yang harus dijaga dan dikembangkan. (Sekali lagi) terlebih dalam rangka menjaga eksistensi pancasila di bumi Nusatara.

Harapan: PMII for Nusantara
Keberadaan PMII sebagai organisasi yang dapat menciptakan sub-cultur di tataran mahasiswa, tentunya dengan landasan tersebut, diharapkan dapat menjadi solusi atas keutuhan dan eksistensi pancasila. Baik dari tantangan imperialisme globalisasi maupun pergulatan ideologi trans-nasionalisme yang hari ini sangat “mengganggu” bangsa Indonesia.
Dengan nila-nilai tersbut pula, PMII dapat menjadi “satu-satunya” oraganisasi yang bisa membentuk karakter nasionalisme-kultural. Artinya, karakter yang dibentuk oleh PMII, kemudian dapat membentuk karakter yang secara social-agama dapat dipertanggungjawabkan segala tingkah lakunya (baca: perbuatannya) seperti yang termaktub dalam Tujuan PMII “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia .”
Akhirnya, dengan terbentuknya karakter tersebut, maka (sekali lagi) eksistensi Pancasila sebagai ideologi Negara tidak akan pernah terganggu oleh berbagai macam gerakan. Semoga refleksi ini dapat tercapai sesuai dengan konteks serta realistis.

 * tulisan ini diupload d Cyber PB PMII, dan diupload kembali dengan semangat mengembalikan ghiroh kaderisasi berbasis sklill (menulis).
**Abdi Dalem PMII Komisariat Sunan Ampel Malang masa khidmat 2011-2012


MALANG- PMII Komisariat Sunan Ampel Malang semakin lantang. pasalnya, pelantikan lima rayon masa khidmat 2012-2013 dilakukan secara bersamaan di parkiran gedung B Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. menurut ketua panitia pelantikan bersama, Chairul, pelantikan ini sengaja dilakukan di bulan romadhon agar perjuangan dan semangat yang muncul dari masing-masing kader menjadi lebih berkah.
"semangat calon pengurus yang dilantik pada pelantikan bersama tahun ini lebih besar dan lebih tampak. ini sesuai dengan target." katanya.

Photo: Ketika Up-greading pengurus PMII Rayon "Perjuangan" Ibnu Aqil tahun 2010

Cinta; apa itu?*


Oleh Abdur Rahim**

 “Cinta adalah yang mendatangkan kebutaan dan ketulian, cinta membutakan segalanya kecuali yang dicintai”(Ibnu Abd Al-shamad)
“Cinta adalah lautan tak bertepi, laut hanyalah serpihan buih belaka” (Jalaluddin ar-Rumi)

Cinta dalam bahasa Arab disebut Al-Hubb atau Mahabbah yang berasal dari kalimat habba-hubban-hibban, yang berarti waddahu, yang mempunyai makna kasih atau mengasihi.[1] Ada juga yang mengatakan, “hubb” berakar dari kata “habab al-maa”, yaitu air bah yang besar. Cinta dinamakanmahabbah karena ia adalah kepedulian yang peling besar dari cita hati.
Cinta, sering pula dianggap bersal dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan bentuk jama’ dari kata“habbat”. Dan habbat al-qulb adalah sesuatu yang menjadi penopangnya. Dengan demikian, cinta dinamakan hubb dikarenakan tersimpan dalam kalbu (hati).
Ada lagi yang menyebutkan kata hub berasal dari kata hibbah, yaitu berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dengan akar kata ini dimaksudkan sebagai lubuk kehidupan, seperti hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan. Namun ada pula yang mengatakan, cinta berasal dari kata hibb, yaitu “tempat yang di dalamnya ada air, dan tatkala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi yang lainnya”. Demikian juga, tatkala hati diluapi rasa cinta, tak ada lagi tempat di hatinya selain ‘sang kekasih’.
Sedangkan Abu Yazid Al-Bisthami mengatakan bahwa “hakikat cinta itu adalah apabila telah terjadiittihad”. Cinta, membebaskan hal-hal sebesar apapun yang datang dari seseorang, dan membesar-besarkan hal yang kecil yang datang dari kekasih. Terkait dengan esensi cinta tersebut, al-Junaid kemudian menunjukkan betapa hati si pecinta direnggut oleh ingatan kepada ‘yang dicinta’ hingga tak satupun tertinggal selain ingatan akan sifat-sifatnya, bahkan lupa dan tak sadar akan sifat-sifatnya sendiri, ‘karena cinta’.[2]
Namun, hari ini cinta ‘terkadang’ membuat seseorang lupa segalanya, lupa hidupnya, lupa masa depannya, lupa ibunya, lupa bapaknya, bahkan lupa Tuhannya. Persoalan ini kemudian ‘merusak’ definisi dan subtansi sebuah makna dari cinta. Kenapa demikian?
Pergeseran makna ini tidak bisa lepas dari sebuah pandangan seseorang dalam melihat –bahkan menyikapi-  kehidupan. Modernisme, adalah awal dari segala pergeseran frame itu. Kecenderungan terhadap dunia materialistik-empirik yang kemudian disusul dengan positivistik menyebabkan seseorang (manusia) berperilaku pragmatis. Ditambah lagi dengan era pos-modernisme yang membawa manusia pada frame yang cenderung mengedepankan style dan ‘nafsu’ kemudian sikap hedanisme dan lain sebagainya.
Dalam konteks ‘cinta’, pergeseran frame ini nantinya tidak hanya mempengaruhi terhadap makna cinta, tetapi juga pada objek cinta, cara pandang ‘bercinta’ dan alasan mengapa ‘mencinta’.
Semoga dengan realita ‘cinta’ yang demikian, kita dapat terhindar dari ‘kecelakaan’ bercinta.


[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973)
[2] Cinta yang dimaksud oleh al-Bishtami (seharusnya) adalah cinta terhadap Tuhan.






* Catatan ini hanya sebuah pengantar tentang makna cinta, dan akan ada lanjutannya.insyaAllah.
** Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel Malang dan Alumni Ponpes Syarifuddin Wonorejo Lumajang

Memahami “Kembali” Agama (Sebuah usaha mencapai cita-cita bersama)


Oleh Abdur Rahim*

“Dan barangsiapa menganut Dîn selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran 85).
"Sesunggunya agama disisi Allah Adalah Islam".(Ali Imran: 19)


Berbicara masalah agama berarti berbicara tentang masa lalu, sekarang, dan akan datang. Atau dengan kata lain, agama merupakan salah sau faktor penentu sejarah peradaban manusia. Isu tentang agama akan terus dan selalu hangat untuk dibicarakan, mengingat manusia tidak bisa dipisahkan dari agama. Henri Bergson mengatakan "There has never been a society without religion" (tidak ada masyarakat tanpa agama). Dipertegas lagi oleh Raymond Firth yang menyatakan bahwa"Religion is universal in human societies", agama adalah universal dalam masyarakat manusia.
Agama adalah sebuah fenomena yang dekat dalam kehidupan individu dan masyarakat. Demikian dekatnya, sehingga agama menjadi perangkat dalam seluruh ritual kehidupan kita. Begitu juga dengan para ilmuan, mereka tidak penah ketinggalan dalam mengomentari agama. Mulai dari ilmuan saintis hingga ilmuan lainnya, seperti psikolog, sosiolog, politik bahkan seniman. Berbagai perspektif tentang agama pun mulai bermunculan. Mulai dari perspektif yang fundamen-radikal sampai pada perspektifliberal-rasional. Makna agama yang dihasilkan dari cara pandang demikian kemudian menghasilkan karakter (baca: sikap) beragama. Karakter untuk terbuka maupun karakter tertutup terhadap cara pandang lain.
Untuk memenuhi universalitas dari sebuah agama (Islam), perlu kiranya pemahaman yang komprehensif dan dapat mewakili konsepsi universalitas agama menjadi sebuah sikap awal bagi umat beragama (Muslim).

Memahami al-Din (Agama)
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Al-quran disebutkan sebanyak 92 kali. Secara etimologi, dindiartikan sebagai “balasan” dan “ketaatan”. Dalam arti balasan, Al-quran menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja) Hari Pembalasan). Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saw bersabda Ad-diinu nashiihah (agama adalah ketaatan). Sedangkan menurut terminologi teologi, din diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, yaitu (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lainnya saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat.
Seseorang dapat dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya.     Karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakanmutadayyin selagi tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak daripada syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.
Kaitannya dengan itu, maka –menurut penulis- agama harus difahami tidak hanya sebatas religiusitas (keyakinan), melainkan agama harus defahami sebagai ilmu, moral dan social system dalam berkehidupan.
Pertama, agama sebagai religiusitas adalah ber-akidah dalam beragama. Artinya, sudah menjadi sebuah keharusan bagi seluruh umat beragama. Keharusan yang sesuai dengan “pilihan” untuk beragama. Pemahaman yang seperti ini seharusnya sudah final dan sifatnya sangat privacy bagi setiap manusia. Inilah yang disebut dengan agama mempunyai dimensi esoteric yang “seharusnya” tidak bisa diganggu gugat.
Kedua, agama sebagai ilmu seharusnya menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang dalam mencari makna kehidupan (baca: ilmu dan pengetahuan). Artinya, konsepsi seperti ini, juga membuat seseorang menemukan sendiri bekal ataupun jalan untuk mencapai tujuan akhir dalam sebuah kehidupan (surga).
Ketiga, agama sebagai moral dan system sosial. Manusia sebagai masyarakat sosial (zoon politicon)tentunya membutuhkan tata-cara atau mekanisme berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, manusia membutuhkan perilaku-perilaku yang “disepakati” dalam berkehidupan. Baik kesepakatan yang dihasilkan secara komunal (kelompok) atau global (keseluruhan). Mekanisme berperilaku yang berangkat dari doktrin-doktrin agama maupun dari lingkungan sosial. Pemahaman yang seperti ini kemudian mewakili dimensi eksoterik (syariat-muamalah) dalam sendi-sendi kehidupan. Pemahaman seperti ini –khususnya yang terakhir- yang kemudian membuat seseorang dapat berintraksi dengan sangat terbuka.
Kaitannya dengan cita-cita bangsa adalah bahwa proses mewujudkan “Bhineka Tunggal Ika” dengan mekanisme demokrasi dan pluralisme banyak persoalan yang sampai sekarang belum menemukan titik temu. Artinya, banyak ketidaksepakatan yang muncul karena doktrin agama. Misalnya, ke-alergi-anbeberapa umat agama (muslim) terhadap kelompok lain bahkan terhadap agama lain, sehingga menyebabkan kekerasan dan semacamnya yang kemudian menghambaat proses “ke-Bhineka Tunggal Ika-an” tersebut.
Akhirnya, semoga pemahaman yang komprehensif (universal) tidak hanya sebatas pemahaman yang memunculkan kesadaran magis dan kesadaran naïf bagi kita semua, tetapi juga dapat memunculkankesadaran kritis yang kemudian menjadi sikap dan karakter dalam relasi-interpersonal agar dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.



*Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel Malang dan Alumni Ponpes Syarifuddin Wonorejo Lumajang

NU, Liberalis atau Modernis?

NU, Liberalis atau Modernis?


Sejak kelahirannya, Nahdlatul Ulama’ (NU) telah terlibat dalam pertentangan pemahaman dan pemikiran keagamaan, baik dengan gerakan Wahabi di Arab Saudi mapun dengan kalangan medernis, seperti Muhamadiyah, Syarikat Islam, maupun Persatuan Islam[1] dikala itu. Dalam pertentangan itu, NU “mengambil posisi” sebagai pihak yang mempertahankan tradisi keagamaan yang telah membudaya selama tidak bertentangan dengan Isam –tentunya kriteria pertentangan yang dimaksud sesuai dengan tafsiran atas kaidah-.
Dari perspektif posisi NU sebagai anti-tesis terhadap gerakan pembaharu dan pemurni[2] tersebut, agaknya dapat dinilai bahwa NU adalah organisasi yang berdasarkan tradisi atau sebagai organisasi tradisional. Dengan demikian, NU –untuk sementara- menurut Mujamil Qomar patut mewakili kalangan tradisionalis, sedangkan Muhamadiyah mewakili kalangan modernis. Dengan kata lain, Muhamadiyah dikatakan sebagai pembaharu, sedangkan NU adalah tradisional.
Perbedaan yang terjadi antara keduanya lebih hanya pada persoalan metodologis dalam pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam ajaran Islam dari pada persoalan lainnya. Mengapa demikian…?
(Sekali lagi) dikotomi yang terjadi hanya berdasarkan pada metodologi dalam pendekatan ajaran Islam. Muhamadiyah misalnya, dikategorikan sebagi modernis karena dilihat dari aspek social pendidikan, namun dilihat dari perkembangan peta pemikiran keagmaan akhir-akhir ini, agaknya citra modernis itu, -maaf- berbalik arah. Artinya, stigma tersebut lebih memihak pada NU.
Dalam bidang pemikiran, pembaharuan kaum modernis (baca: Muhamadiyah) menurut Mujamil Qomar bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Justru NU mulai menggelindingkan pembaruan pemikiran itu.
Dalam beberapa fenomena pemikiran di Indonesia, para pemuda NU -yang menurut beberapa cendekiawan muda NU diawali oleh pola pemikiran Gus Dur- sudah mulai menggunakan metode pemikiran yang cukup dapat bilang modern dan kontekstual atas realita. Terbukti dalam dinamika atau wacana intelektual yang menggelinding di tengah-tengah masyarakat kita, dominasi gerakan intelektual yang dilakukan oleh para pemuda NU cukup mempengaruhi.
Misalnya, semangat gerakan intelektual yang ada pada komunitas Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) -sejak awal tahun 90-an- dalam menawarkan wacana baru atas realita ke-Islam-an di Indonesia, khususnya ke-NU-an cukup mempengaruhi gejolak pemikiran yang ada. Dilanjut dengan adanya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang secara “kebetulan” diprakarsai oleh para pemuda NU seperti Ulil Abshor Abdalla, Abdul Moqsit Ghozali, dan lain-lain. Wacana yang dilontarkan oleh beberapa aktivis JIL, pun cukup merubah stigma tentang NU tradisionalis.
Peranan dan semangat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam mengkontekstualisasikan Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP)-nya –walaupun masih dalam pespektif masing-masing; tua dan muda- dalam sebuah gerakan kongkrit (baca: praksis) cukup mendominasi metode yang digunakan. Artinya, sumbangsihnya tidak bisa dinafikan dalam andil mewarnai pola (gejolak) pemikiran yang ada.
Teringat dengan tawaran-tawaran yang dilakukan oleh Said Aqil Sirodj dalam pemikiran ke-NU-an dan gerakannya. Ketika itu, ia digugat oleh beberapa kaum sepuh. Kenakalan berfikirnya, -yang dianggap menggunaka logika syi’ah-, menurut beberapa cendikawan dianggap tidak relevan dengan konsepsi (khittah) Nahdlotul Ulama’.
Ditambah lagi dengan beberapa terobosan yang ditawarkan NU dalam pengembangan pendidikan di Indonesia –walaupun belum cukup dikatakan sukses- cukup mengubah pandangan masyarakat. Artinya, NU yang awalnya hanya dikenal dengan pendidikan pesantrennya (pesantren salaf) dan metode sorogannya, maka hari ini NU cukup mendominasi “model” pendidikan Indonesia. Terlebih dalam gerakan pembaharuan pendidikan yang diprakarsai KH. Abdul Wahid Hasyim.
Dengan kondisi tersebut, maka polarisasi atas istilah dikotomik tersebut, modernis dan tradisionalis mulai digugat manakala digunakan untuk mengamati perkembangan pemikiran NU dewasa ini. Menurut penulis, -lagi-lagi dari segi metodologi dalam pemahaman ajaran dan model pendidikan- disinilah peran cendekiawan NU yang dikatakan tidak lagi tradisionalis.
Lantas, apakah konsep “Al-Muhafadzotu ‘ala Al-QodimAl-Sholeh wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Ashlah”tidak cukup membuktikan bahwa NU itu tetap Tradisionalis? Bagaimana menurut Anda?


[1]  Dikatakan Modernis, mengacu pada tipologi yang dimunculkan oleh Daliar Noer tatkala menuliskan tentang NU dan Muhamadiyah. Pun dalam tulisan Ahmad Zaini dalam KH. Abdul Wahid Hasyim; Pembaharu Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan.
 [2]Istilah ini mengacu pada “keyakinan” Muhamad Abduh dalam gerakan pemurnian Islam dilanjut oleh Rasyid Ridlo, dll.

Romadhonku:
"Orang merelakan romadhon demi lebaran. demi persiapan lebaran, tarawihpun ditinggalkan. kata seorang pengamat sosial, (tinggal di cempaka Putih, Jakpu0s), budaya Masyarakat kita yang lebih memilih lebaran dari pada romadhonnya perlu dilirik kembali. so... romadhon or lebaran, mana yang dibanggakan?"

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites