Senin, 20 Juni 2011

Risalah Tauhid

Nama Kitab         : Risalah Al-Tauhid
Pengarang            : Syeikh Muhammad Abduh
Judul Terjemah   : Risalah Tauhid
Penerjemah          : KH. Firdaus A.N
Kota Terbit           : Jakarta
Penerbit                : Bulan Bintang
Tahun Terbit        : 1989


Kritik Tarjamah
Atas Kitab Risalah Tauhid Karya Syekh Muhammad Abduh
Oleh Abdur Rahim**

A.      Pendahuluan
Kata terjemah sudah berumur cukup tua, barangkali setua manusia mengenal lambing-lambang bahasa lisan. Tidak demikian halnya dengan kerja terjemah professional. Ia mungkin baru belakangan dikenal, yaitu ketika bahasa (lisan atau tulis) menjadi denominator utama bagi eksistensi kebudayaan-kebudayaan besar di dunia.
Sedangkan, penerjemahan merupakan aktivitas intelektual yang ada sejak dahulu.  Dunia penerjemahan merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah bangsa. Artinya, keniscayaan penerjemahan menjadi tuntutan bagi sebuah bangsa dalam berintraksi dengan bangsa lain.
Terjemah juga menjadi sebuah persoalan subtansial dalam proses kesepahaman antar bangsa. Pun menjadi media untuk menyampaikan informasi atau pengetahuan ke berbagai level sosial kemasyarakatan.
Dalam Islam misalnya, penerjemahan sangat berperan penting dalam memberikan pemahaman Islam terhadap masyarakat umum terkait persoalan akidah, syariah, ‘mekanisme’ beribadah (Ta'abudiyah), dan lain-lain. Tentunya beserta dalil-dalilnya yang berbahasa arab; Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Istilah terjemah secara sederhana merupakan bentuk pengalihan makna teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh pengarang atau penulis. Seperti yang digambarkan Hasan Hanafi tentang suasana transisi peradaban umat Islam dari menukil sampai pada tradisi kreatif. Ini membuktikan bahwa terjemah merupakan sebuah mekanisme berintraksi dan ‘beraksi’ bagi umat islam.
Kaitannya dengan kritik terjemah, bahwa ia adalah sebuah wilayah kajian yang berusaha menyelidiki karya terjemahan dengan langsung melakukan analisis, memberi pertimbangan baik-buruknya atau berkualitas-tidaknya sebuah karya terjemahan. Artinya, Studi tentang tajamah berfungsi untuk melakukan penilaian terhadap karya tarjamah yang kemudian dapat memunculkan teori baru tarjamah.[1] Dalam menilai sebuah karya terjemahan dibutuhkan teori tentang penilaian; bagaimanakah karya terjemahan yang baik dan berkualitas? Teori terjemahpun butuh pada kritik terjemah, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya atau teknik dalam menerjemah.
Maka dari itu, selain karena adanya tugas mata kuliah, perlu kiranya untuk mengkaji lebih dalam perihal kritik terjemah dengan menganalisa karya-karya terjemah yang sudah ada (diterbitkan).

B.       Pembahasan dan Analisis (Leksikal dan Gramatikal)
من أحْكامِ الممْكِنِ لِذَاتِه، أن لا يُوجد إلاّ بسببٍ وأن لا ينعَدِم إلاّ بسَبَب. وذلك لأنّه لا واحد من الأمْرَيْن له لِذَاتِهِ، فَنِسْبَتُهُمَا إلى ذاته على السواء[2].
Terjamahan:
“Diantara hukum-hukum yang mungkin bagi dzat-Nya ialah, bahwa Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sesuatu sebab. Begitu pula, bahwa Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sesuatu sebab juga. Demikian, adalah karena tidak satu pun diantara dua perkara itu (‘Ada’ dan ‘tidak ada’) yang dimiliki oleh sesuatu itu secara sekaligus. Maka menurut dzat-Nya, kedua perkara tadi adalah sama.[3]
Potongan teks di atas merupakan bentuk teks ilmiah-teoritis-abstraktif, yaitu teks yang penulisannya menekankan pada aspek informasi yang disampaikan. Dalam jenis teks ini, sebuah persoalan dideskripsikan secara abstraktif. Menggunakan bahasa yang lugas, tegas; bahasa bersifat formal. Terkadang terkait dengan aturan-aturan baku. Gagasan diuraikan secara gambling dan jelas. Sedangkan aspek estetika teks tidak menjadi pertahatian yang utama. Sasaran pembacanya bersifat terbatas. Artinya, kalangan tertentu saja, tidak semua lapisan masyarakat dapat mencernanya.[4]
1.    Analisis Leksikal
Makna leksikal adalah makna sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indera kita, maka ia bersifat apa adanya. Atau makna yang ada di dalam kamus.[5] Namun, kaitannya dengan pembahasan ini, penulis juga akan membahas fungsi dan kaidahnya.
Huruf min (من)  pada kalimat di atas merupakan salah satu huruf ma’ani yang tsuna’iyah (ثنائية)[6] yaitu huruf yang terdiri dari dua buah huruf, mim dan nun. Dilihat dari bentuk pembagiannya ia juga disebut dengan al-mukhtash bi al- ism (المختص بالاسم) yaitu huruf yang khusus digunakan untuk kalimat isim[7]. Artinya, fungsi atau makna yang terkandung di dalamnya dapat muncul manakala disambungkan dengan kalimat isim.
Huruf Jar min (من) paling sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata dari atau sejak. Namun, dalam beberapa konteks kalimat, ia juga diterjemahkan dengan kata lain, seperti, salah satu, di antara, sebagian.[8] Karena huruf min memiliki beberapa fa’idah (baca: fungsi), salah satunya adalah Li al-Tab’idh (للتبعيض)[9] yaitu sebagian.
Sementara kalimat أحكام  merupakan bentuk jamak dari حكم  yang memiliki makna memerintah, bijaksana, dan hukum.[10] Sedangkan kalimat الممكن bermakna yang mungkin, barangkali atau potensial.[11] Kata ذات mempunyai makna dzat, diri atau person, intisari, dan pokok.[12] Khusus untuk kata ini, penerjemahan ke dalam bahasa sasaran biasa menggunakan teknik pungutan atau biasa disebut teknik borrowing (al-Iqtiradh) yaitu teknik yang menggunakan bahasa teks sumber sebagaimana adanya. Artinya, menuliskannya kembali dalam bahasa sasaran.[13]
Penerjemah menerjemahkan kalimat من أحكام الممكن لذاته dengan “Diantara hukum-hukum yang mungkin bagi dzat-Nya”. Menurut penulis sudah cukup mewakili dan sesuai dengan maksud bahasa sumber. Penerjemahan ini menggunakan teknik literal translation (terjemahan harfiyah). Yaitu terjemahan yang mengutamakan padanan kata atau ekspresi di dalam bahasa sasaran yang mempunyai rujukan atau makna yang sama dengan yang ada dalam bahasa sumber.[14] Dengan bahasa yang berbeda, M. Faisol Fatawi mengatakan bahwa teknik literal translation adalah teknik yang kata demi kata atau frase demi frase diterjemahkan, sehingga dihasilkan bentuk terjemahan teks secara keseluruhan.[15] Dia juga mengatakan teknik ini tidak bisa diterapkan pada semua jenis teks.[16]
Huruf أن adalah min adawat al-nashbi yang khusus masuk pada fi’il mudhori’.  Sedangkan kalimat يُوجد berasal dari kataوَجَدَ يَجِدُ  yang artinya adalah ada, menemukan atau memperoleh.[17] Lafadz أن لا يُوجد diterjemahkan “bahwa ia tidak mungkin ada”. إلا adalah huruf istitsna’ (حرف الاستثناء). Adapun maknanya adalah kecuali. Kata ini seringkali tidak diterjemahkan dengan kecuali, tetapi sebagai taukid atau penegasan saja. Ada pula yang diterjemahkan dengan tanpa atau pengurangan jumlah. Pun terkadang diterjemahkan dengan namun atau hanya saja.[18] Tetunya disesuaikan dengan konteks kaimatnya.
Kalimat بسببٍ terdiri dari huruf jar ba’ (ب) yang pada umunya dimaknai dengan. Namun, dalam beberapa hal, menurut Abdul Munip huruf jar ini perlu diterjemahkan dengan ungkapan lain seperti karena, di, untuk, dan yaitu.[19] Bahkan Nur Mufid, dkk megatakan bahwa huruf jar ba’ (ب) dalam konteks kalimat tertentu harus diterjemahkan menjadi karena, di, untuk sebagai dan yaitu karena jika tidak demikian akan dapat merusak makna kalimat dan tidak dapat dimengerti.[20]
Kalimat berikutnya, سببٍ artinya adalah sebab, alasan, illat atau wasilah.[21] Huruf و biasanya diterjemahkan menjadi dan. Tetapi banyak konteks kalimat yang meghendaki huruf wawu diterje,mahkan menjadi maupun atau karena. Ia merupakan huruf athof (حرف العطف)[22].
Sedangkan kata ينعَدِم asalnya انعدم ينعدم  mengikuti wazan انفَعَل ينفَعِل dalam bentuk Tsulatsi Mazid al-Khumasi (الثلاثي المزيد الخماسي). Adapun lafadz yang mengikuti wazan ini hanya memiliki dua fa’idah, yaitu فعل لمطاوعة dan لمطاوعة أفعل قليلا. Maka, makna leksikal yang akan muncul adalah hilang, ketiadaan atau tidak ada.[23]
Jumlah (baca: kalimat) وأن لا ينعَدِم إلاّ بسَبَب diterjemahkan menjadi “Begitu pula, bahwa Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sesuatu sebab juga.” Kata Begitu pula hanya merupakan tambahan. Menurut Abdul Munip, cara ini diperbolehkan (bahkan diharuskan) karena merupakan salah satu strategi penerjemahan yang sifatnya hanya menambah kata-kata tertentu di dalam bahasa sasaran. Tentunya, memang dikehendaki oleh struktur bahasa sasaran.[24] Teknik penerjemahan yang digunakan dalam kalimat ini sama dengan yang di atas, yaitu teknik literal translation (al-Tarjamah al-Harfiyah).
Sebenarnnya -menurut penulis- terjemahan pada kalimat (من أحْكامِ الممْكِنِ لِذَاتِه، أن لا يُوجد إلاّ بسببٍ وأن لا ينعَدِم إلاّ بسَبَب) bisa disederhanakan, tanpa harus mengurangi isi dan maksud dari teks bahasa sumber. Menjadi “Diantara hukum yang mungkin bagi dzat-Nya ialah: Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sebab dan Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sebab pula.
Pada jumlah (kalimat) kedua, huruf wawu (و)  yang menurut Abdul Munif hanya berfaidah memperindah (Mujamalah). Ia lebih sering diganti dengan tanda koma (,), karena jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiyah dapat menimbulkan kerancuan.[25]
Sedangkan ذلك merupakan isim isyarah yang berfungsi (bermakna) kata ganti petunjuk (Demonstrative Pronoun). Adapun makna leksikalnya adalah itu. Akan tetapi, ketika diletakkan dalam konteks kalimat, penerjmahan isim isyaroh menjadi sangat bervariasi, dan terkadang tidak cocok jika diterjemahkan secara harfiyah.[26]
لا memiliki makna tidak dan jangan. Sedangkan واحد bermakna satu. Sehingga jika kalimat لا واحد digabungkan, maka terjemahannya adalah “tidak satupun”.  الأمْرَيْن berbentuk tatsniyah yang mufrodnya adalah أمْر, artinya adalah perkara atau masalah. Sehingga, manakala kalimat لأنّه لا واحد من الأمْرَيْن له لِذَاتِه digabungkan, terjemahan yang dihasilkan oleh penerjemah adalah “Demikian, adalah karena tidak satu pun diantara dua perkara itu (‘Ada’ dan ‘tidak ada’) yang dimiliki oleh sesuatu itu secara sekaligus.
Menurut penulis, terjemahan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran bisa disederhanakan lagi menjadi “Tidak satu pun diantara dua perkara itu (‘Ada’ dan ‘tidak ada’) dimiliki sekaligus.”
Selanjutnya, kalimat فَنِسْبَتُهُمَا terdiri dari beberapa suku kata, yaitu; fa’ (فَ) yang menurut fungsinya sama dengan wawu (Mujamalah). Akan tetapi, kaitannya denga teks ini, makna yang terkandung (maka) perlu ditulis dalam bahasa sasaran. Yang kedua adalah نِسْبَة yang berasal dari kataينسِبُ  نسَبَ. Maknanya adalah menyebutkan, perimbangan, menisbatkan atau menyandarkan. إلى adalah huruf jar yang memiliki beberapa faidah (baca: fungsi), yaitu al-Intiha’ (الانتهاء), al-Mushohabah (المصاحبة), dan bermakna ‘inda (بمعنى "عند")[27]. Adapun makna yang sering digunakan untuk menerjemahkannya adalah kepada atau ke. Sama halnya dengan إلى, huruf على juga merupakan huruf jar, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran menjadi atas  atau di atas. Kata berikutnya adalah السواء berasal dari akar kata سوى يسوي yang memiliki makna leksikal sama atau kesamaan, dengan pengecualian atau keadilan. Maka, ketika digabungkan penerjemah menerjemahkan menjadi “Maka menurut dzat-Nya, kedua perkara tadi adalah sama.”
Akhirnya, dari beberapa uraian di atas dapat dimunculkan alternatif terjemahan baru yang lebih mudah dan tanpa menghilangkan subtansi dan maksus dari teks bahasa sumber, yaitu: “Diantara hukum yang mungkin bagi dzat-Nya ialah: Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sebab dan Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sebab pula. Maka dari itu, tidak satu pun diantara dua perkara itu (‘Ada’ dan ‘tidak ada’) dimiliki sekaligus. Karena kedua perkara itu sama menurut dzat-Nya.



2.    Analisis Gramatikal
Gramatika adalah pembahasan tentang morfologi dan sintaksis. Dalam kajian bahasa arab, morfologi pararel dengan Shorf, sementara sintaksis pararel dengan Nahwu. Dua hal tersebut merupakan pilar terpenting tata bahasa Arab.[28]
Kaitannya dengan analisis gramatikal, pada teks di atas hanya terdiri dari dua inti kalimat tentang penjelasan hukum mumkin (حكم الممْكِنِ). Inti kalimat tersebut ada pada kalimat  أن لا يُوجد إلاّ بسببٍ وأن لا ينعَدِم إلاّ بسَبَب, dan لا واحد من الأمْرَيْن له لِذَاتِهِ، فَنِسْبَتُهُمَا إلى ذاته على السواء.
Kalimat pertama memiliki makna "Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sebab dan tidak mungkin ada tidak ada kecuali dengan sebab pula". Susunan yang terdiri dari dua kalimat yang sama susunannya, yaitu SPK (Subyek, Predikat dan Keterangan).
Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sebab.
S      P                                  K
Dan Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sebab pula.
         S         P                                              K
Pada dasarnya, kata keterangan bisa diletakkan sebelum subyek dengan ketentuan tanda baca koma (,). Misalnya:
Kecuali dengan sebab, Ia tidak mungkin ada, dan
K                                         S          P
Kecuali dengan sebab pula, Ia tidak mungkin tidak ada.
K                                                 S              P
Namun, dikarenakan jenis bahasa sumber (teoritis-abstraktif) yang menjelaskan tentang tauhid, maka penggunaan susunan seperti ini dapat menjadikan makna (maksud kalimat) tidak dapat langsung difahami.
Selain itu, penerjemah lebih banyak menggunakan teknik literal translation  yang menuntut penerjemah untuk mengikuti susunan atau struktur gramatika teks bahasa sumber, maka teks bahasa sasaran pun ‘cenderung’ sulit untuk difahami. Ini kemudian berpengaruh pada pemahaman pembaca atas teks sumber. Tetapi, pemilihan dan penyusunan kata yang tepat bisa mengatasi kedua permasalahan tersebut.
Disamping itu, menurut penulis penggunaan imbuhan atau tambahan (konjungsi) dalam bahasa sasaran terlalu berbelit, walaupun penerjemah sangat berhati-hati dalam memilih padanan kata.
Terjemahan di atas (bahasa sasaran) secara kaidah kebahasa Indonesiaan sudah benar dan penyusunan katanya sudah cukup tepat. Urutan kalimatnya mengikuti urutan kalimat bahasa sumber. Yaitu, berbentuk Khobar Muqoddam dan Mubtada’ Muakhor. Kalimat “Diantara hukum-hukum yang mungkin bagi dzat-Nya” merupakan bentuk Khobar Muqoddam. Sedangkan Mubtada’ Muakhor-nya yaitu “bahwa Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sesuatu sebab. Begitu pula, bahwa Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sesuatu sebab juga.”

Daftar Bacaan
Abduh, Muhammad. 1969. Risalah Al-Tauhid. Iskandaria: tp.
Abduh, Muhammad. 1989. Risalah Tauhid. (Terjm.:Firdaus A.N). Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Gholayaini, Musthofa. 2007. Jami’ al-Durus al-Arabiyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah
Ali, Atabik, Muhdlor, Ahmad Zuhdi. Tt. Al-Asri: Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Cet. 9). Jogyakarta: Multi Karya Grafika.
Al-Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Cet. 14 ). Jogyakaarta: Pustaka Progresif.
Burdah, Ibnu. 2004. Menjadi Penerjemah: Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana
Busyro, Muhtarom. 2005. Shorof Praktis “Metode Krapyak”. Jogjakarta: Menara Kudus
Fatawi, M. Faisol.2009. Seni Menerjemah. Malang: UIN-Malang Press.
Ibnu Ummu Qosim al-Marodi. Tt. Al-Jinni Al-Jani fi Huruf al-Ma’ani.
Mufid, Nur, dkk. 2007. Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Munip, Abdul. 2009. Stategi dan Kiat Menerjemah Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Jogyakarta: Teras.
Taufiqurrochman.2008. Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press






** Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang angkatan 2008.


[1] Faisol Fatawi, disampaikan pada saat kulaih kritik tarjamah Jum’at, 19 Maret 2011.
[2] Muhammad Abduh. 1969. Risalah Al-Tauhid. tp. Bab Hukum Mumkin
[3] Muhammad Abduh. 1989. Risalah Tauhid. (diterjemah; KH. Firdaus A.N). Jakarta: Bulan Bintang, hal. 20.
[4] M. Faisol Fatawi. Seni Menerjemah. UIN-Malang Press. 2009. hal.78.
[5] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab. UIN-Press Malang. 2008. Hal.82
[6] Ibnu Ummu Qosim al-Marodi. Al-Jinni Al-Jani fi Huruf al-Ma’ani.
[7] Musthofa al-Gholayaini. Jami’ al-Durus al-Arabiyah. Dar al-Kutub al-Ilmiah. 2007, hal. 10.
[8] Abdul Munip. Stategi dan Kiat Menerjemah Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Jogyakarta: Teras. 2009, hal. 130
[9] Mustofa Al-Gholayaini. Jami’ al-Durus. hal. 128, Juz III.
[10] Ahmad Warson Al-Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Jogyakaarta: Pustaka Progresif. 1997, hal. 286.
[11] Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor. Al-Asri; Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Jogyakarta: Multi Karya Grafika. Tt.hal. 1823.
[12]Ibid. hal.926
[13] M. Faisol Fatawi, Seni Menerjemah, UIN-Malang Press, 2009, hal.34
[14] Opcit. hal. 11
[15] M. Faisol Fatawi,… hal.37
[16] Ibid. hal. 38
[17] Al-Munawwir
[18] Abdul Munip. Stategi dan Kiat Menerjemah…, hal. 135.
[19] Ibid. hal. 132
[20] Nur Mufid,dkk. Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia.2007. Surabaya: Pustaka Progresif.hal. 122
[21] Kamus Al-Munawwir. Hal. 602
[22] Op.cit. hal.145.
[23] Kamus Al-Munawwir. Hal. 906.
[24] Abdul Munip.…, hal. 129.
[25] Abdul Munip,….hal.126.
[26] Nur Mufid, dkk…158.
[27] Mustofa Al-Gholayaini… hal. 130. Juz III.
[28] Ibnu Burdah. 2004. Menjadi Penerjemah Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana

Kamis, 16 Juni 2011

for Nusantara

Datanglah kepada rakyat, huduplah bersama rakyat, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu, bangunlah dari apa yang mereka punya.
Pendamping yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai dan tugas di rampungkan, rakyat berkata: “kami sendirilah yang mengerjakannya”.
Lao Tse 700 SM

Menghadirkan Islam Madani; Usaha Membangkitkan Kebersamaan

           Menghadirkan islam madani sering kita berfikir islam yang plural (majmuk), kalau berbicara tentang kemajemukan maka kita berbicara tentang realitas kehidupan alam semesta ,bukan Tuhan. Artinya, yang namanya realitas pada hakikatnya tunggal sebab semua bersumber dari tuhan Esa. Realitas sendiri terdiri atas beberapa prinsip: Pertama wujud pasti; kedua (al-‘aql al-awwal); ketiga di ruh, dan yang terakhir materi. Kemajemukan adalah realitas yang tak bisa di tolak, walaupun manusia menganggap bahwa kemajemukan merupakan suatu ancaman bagi eksistensinnya. Mereka sering berkata kemajemukan dapat menyebabkan konflik antara yang satu dengan yang lainnya.namun konflik sendiri merupakan sebagian dari realitas eksistensi manusia pula.kita jangan sampai terjebak sehingga mengatakan bahwa konflik selalu bernada buruk. Dalam konflik pastilah ada fungsi-fungsi positifnya. Oleh karena itu, konflik bisa di gunakan perubahan sosial. Misalnya, usaha-usaha menegakkan keadilan sosial bagi kaum perempuan lahir dari konflik yang sangat tajam untuk menuntut diadakannya emansipasi. Kita tahu di Inggris , misalnya, sebelum tahun 1889 seorang suami mempunyai hak untuk menjual istrinya.
          Adapun penafsiran Din dan Islam, di dalam  hadits Nabi telah di terangkan   yaitu ” Din adalah akal dan tidak ada Din bagi  orang-orang yang tak berakal”. Jadi kata Din disini adalah akal (hikmah), dari sini kita rumuskan satu kemestian berfikir. Sekuat apapun kita berfikir, akal kita akan bertemu keabsurdan. Sebab, di dalam al-qur’an mengatakan “ kehidupan dunia merupakan permainan dan senda gurau” (QS.al-An’am:32). Dan, hakikat permainan adalah dimengerti ketidakmengertiannya, disinilah kata Din dan islam, yang saya bahasakan proses berfikir untuk  tawadduk(tunduk) kepada sang pencipta .karna manusia di beri jabatan di muka bumi sebangai abdulloh dan kholifah fil ard. setelah melalui proses din (berfikir) yang cukup panjang singkat kata, penjelasan Din dan  Islam mengisyaratkan manusia untuk “adil dulu dalam berfikir, baru engkau bisa adil dalam bertindak”. Jadi din disini merupakan sisi-sisi kognitif, sedangkan islam merupakan sisi-sisi afektif. dengan kita mempunyai (din) pengetahuan yang luas (tawadduk kepada allah) kita sudah membentuk moral kita sendiri kepada sesama ciptaannya  dan  di sejajarkan dengan al-islam yang berarti arrohman arrokhim sehingga manusian tidak saling merusak dimuka bumi , karena allah sendiri tidak menyukai orang-orang yang merusak.



*  Malang, 17 Juni 2011

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites