Senin, 20 Juni 2011

Risalah Tauhid

Nama Kitab         : Risalah Al-Tauhid
Pengarang            : Syeikh Muhammad Abduh
Judul Terjemah   : Risalah Tauhid
Penerjemah          : KH. Firdaus A.N
Kota Terbit           : Jakarta
Penerbit                : Bulan Bintang
Tahun Terbit        : 1989


Kritik Tarjamah
Atas Kitab Risalah Tauhid Karya Syekh Muhammad Abduh
Oleh Abdur Rahim**

A.      Pendahuluan
Kata terjemah sudah berumur cukup tua, barangkali setua manusia mengenal lambing-lambang bahasa lisan. Tidak demikian halnya dengan kerja terjemah professional. Ia mungkin baru belakangan dikenal, yaitu ketika bahasa (lisan atau tulis) menjadi denominator utama bagi eksistensi kebudayaan-kebudayaan besar di dunia.
Sedangkan, penerjemahan merupakan aktivitas intelektual yang ada sejak dahulu.  Dunia penerjemahan merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah bangsa. Artinya, keniscayaan penerjemahan menjadi tuntutan bagi sebuah bangsa dalam berintraksi dengan bangsa lain.
Terjemah juga menjadi sebuah persoalan subtansial dalam proses kesepahaman antar bangsa. Pun menjadi media untuk menyampaikan informasi atau pengetahuan ke berbagai level sosial kemasyarakatan.
Dalam Islam misalnya, penerjemahan sangat berperan penting dalam memberikan pemahaman Islam terhadap masyarakat umum terkait persoalan akidah, syariah, ‘mekanisme’ beribadah (Ta'abudiyah), dan lain-lain. Tentunya beserta dalil-dalilnya yang berbahasa arab; Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Istilah terjemah secara sederhana merupakan bentuk pengalihan makna teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh pengarang atau penulis. Seperti yang digambarkan Hasan Hanafi tentang suasana transisi peradaban umat Islam dari menukil sampai pada tradisi kreatif. Ini membuktikan bahwa terjemah merupakan sebuah mekanisme berintraksi dan ‘beraksi’ bagi umat islam.
Kaitannya dengan kritik terjemah, bahwa ia adalah sebuah wilayah kajian yang berusaha menyelidiki karya terjemahan dengan langsung melakukan analisis, memberi pertimbangan baik-buruknya atau berkualitas-tidaknya sebuah karya terjemahan. Artinya, Studi tentang tajamah berfungsi untuk melakukan penilaian terhadap karya tarjamah yang kemudian dapat memunculkan teori baru tarjamah.[1] Dalam menilai sebuah karya terjemahan dibutuhkan teori tentang penilaian; bagaimanakah karya terjemahan yang baik dan berkualitas? Teori terjemahpun butuh pada kritik terjemah, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya atau teknik dalam menerjemah.
Maka dari itu, selain karena adanya tugas mata kuliah, perlu kiranya untuk mengkaji lebih dalam perihal kritik terjemah dengan menganalisa karya-karya terjemah yang sudah ada (diterbitkan).

B.       Pembahasan dan Analisis (Leksikal dan Gramatikal)
من أحْكامِ الممْكِنِ لِذَاتِه، أن لا يُوجد إلاّ بسببٍ وأن لا ينعَدِم إلاّ بسَبَب. وذلك لأنّه لا واحد من الأمْرَيْن له لِذَاتِهِ، فَنِسْبَتُهُمَا إلى ذاته على السواء[2].
Terjamahan:
“Diantara hukum-hukum yang mungkin bagi dzat-Nya ialah, bahwa Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sesuatu sebab. Begitu pula, bahwa Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sesuatu sebab juga. Demikian, adalah karena tidak satu pun diantara dua perkara itu (‘Ada’ dan ‘tidak ada’) yang dimiliki oleh sesuatu itu secara sekaligus. Maka menurut dzat-Nya, kedua perkara tadi adalah sama.[3]
Potongan teks di atas merupakan bentuk teks ilmiah-teoritis-abstraktif, yaitu teks yang penulisannya menekankan pada aspek informasi yang disampaikan. Dalam jenis teks ini, sebuah persoalan dideskripsikan secara abstraktif. Menggunakan bahasa yang lugas, tegas; bahasa bersifat formal. Terkadang terkait dengan aturan-aturan baku. Gagasan diuraikan secara gambling dan jelas. Sedangkan aspek estetika teks tidak menjadi pertahatian yang utama. Sasaran pembacanya bersifat terbatas. Artinya, kalangan tertentu saja, tidak semua lapisan masyarakat dapat mencernanya.[4]
1.    Analisis Leksikal
Makna leksikal adalah makna sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indera kita, maka ia bersifat apa adanya. Atau makna yang ada di dalam kamus.[5] Namun, kaitannya dengan pembahasan ini, penulis juga akan membahas fungsi dan kaidahnya.
Huruf min (من)  pada kalimat di atas merupakan salah satu huruf ma’ani yang tsuna’iyah (ثنائية)[6] yaitu huruf yang terdiri dari dua buah huruf, mim dan nun. Dilihat dari bentuk pembagiannya ia juga disebut dengan al-mukhtash bi al- ism (المختص بالاسم) yaitu huruf yang khusus digunakan untuk kalimat isim[7]. Artinya, fungsi atau makna yang terkandung di dalamnya dapat muncul manakala disambungkan dengan kalimat isim.
Huruf Jar min (من) paling sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata dari atau sejak. Namun, dalam beberapa konteks kalimat, ia juga diterjemahkan dengan kata lain, seperti, salah satu, di antara, sebagian.[8] Karena huruf min memiliki beberapa fa’idah (baca: fungsi), salah satunya adalah Li al-Tab’idh (للتبعيض)[9] yaitu sebagian.
Sementara kalimat أحكام  merupakan bentuk jamak dari حكم  yang memiliki makna memerintah, bijaksana, dan hukum.[10] Sedangkan kalimat الممكن bermakna yang mungkin, barangkali atau potensial.[11] Kata ذات mempunyai makna dzat, diri atau person, intisari, dan pokok.[12] Khusus untuk kata ini, penerjemahan ke dalam bahasa sasaran biasa menggunakan teknik pungutan atau biasa disebut teknik borrowing (al-Iqtiradh) yaitu teknik yang menggunakan bahasa teks sumber sebagaimana adanya. Artinya, menuliskannya kembali dalam bahasa sasaran.[13]
Penerjemah menerjemahkan kalimat من أحكام الممكن لذاته dengan “Diantara hukum-hukum yang mungkin bagi dzat-Nya”. Menurut penulis sudah cukup mewakili dan sesuai dengan maksud bahasa sumber. Penerjemahan ini menggunakan teknik literal translation (terjemahan harfiyah). Yaitu terjemahan yang mengutamakan padanan kata atau ekspresi di dalam bahasa sasaran yang mempunyai rujukan atau makna yang sama dengan yang ada dalam bahasa sumber.[14] Dengan bahasa yang berbeda, M. Faisol Fatawi mengatakan bahwa teknik literal translation adalah teknik yang kata demi kata atau frase demi frase diterjemahkan, sehingga dihasilkan bentuk terjemahan teks secara keseluruhan.[15] Dia juga mengatakan teknik ini tidak bisa diterapkan pada semua jenis teks.[16]
Huruf أن adalah min adawat al-nashbi yang khusus masuk pada fi’il mudhori’.  Sedangkan kalimat يُوجد berasal dari kataوَجَدَ يَجِدُ  yang artinya adalah ada, menemukan atau memperoleh.[17] Lafadz أن لا يُوجد diterjemahkan “bahwa ia tidak mungkin ada”. إلا adalah huruf istitsna’ (حرف الاستثناء). Adapun maknanya adalah kecuali. Kata ini seringkali tidak diterjemahkan dengan kecuali, tetapi sebagai taukid atau penegasan saja. Ada pula yang diterjemahkan dengan tanpa atau pengurangan jumlah. Pun terkadang diterjemahkan dengan namun atau hanya saja.[18] Tetunya disesuaikan dengan konteks kaimatnya.
Kalimat بسببٍ terdiri dari huruf jar ba’ (ب) yang pada umunya dimaknai dengan. Namun, dalam beberapa hal, menurut Abdul Munip huruf jar ini perlu diterjemahkan dengan ungkapan lain seperti karena, di, untuk, dan yaitu.[19] Bahkan Nur Mufid, dkk megatakan bahwa huruf jar ba’ (ب) dalam konteks kalimat tertentu harus diterjemahkan menjadi karena, di, untuk sebagai dan yaitu karena jika tidak demikian akan dapat merusak makna kalimat dan tidak dapat dimengerti.[20]
Kalimat berikutnya, سببٍ artinya adalah sebab, alasan, illat atau wasilah.[21] Huruf و biasanya diterjemahkan menjadi dan. Tetapi banyak konteks kalimat yang meghendaki huruf wawu diterje,mahkan menjadi maupun atau karena. Ia merupakan huruf athof (حرف العطف)[22].
Sedangkan kata ينعَدِم asalnya انعدم ينعدم  mengikuti wazan انفَعَل ينفَعِل dalam bentuk Tsulatsi Mazid al-Khumasi (الثلاثي المزيد الخماسي). Adapun lafadz yang mengikuti wazan ini hanya memiliki dua fa’idah, yaitu فعل لمطاوعة dan لمطاوعة أفعل قليلا. Maka, makna leksikal yang akan muncul adalah hilang, ketiadaan atau tidak ada.[23]
Jumlah (baca: kalimat) وأن لا ينعَدِم إلاّ بسَبَب diterjemahkan menjadi “Begitu pula, bahwa Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sesuatu sebab juga.” Kata Begitu pula hanya merupakan tambahan. Menurut Abdul Munip, cara ini diperbolehkan (bahkan diharuskan) karena merupakan salah satu strategi penerjemahan yang sifatnya hanya menambah kata-kata tertentu di dalam bahasa sasaran. Tentunya, memang dikehendaki oleh struktur bahasa sasaran.[24] Teknik penerjemahan yang digunakan dalam kalimat ini sama dengan yang di atas, yaitu teknik literal translation (al-Tarjamah al-Harfiyah).
Sebenarnnya -menurut penulis- terjemahan pada kalimat (من أحْكامِ الممْكِنِ لِذَاتِه، أن لا يُوجد إلاّ بسببٍ وأن لا ينعَدِم إلاّ بسَبَب) bisa disederhanakan, tanpa harus mengurangi isi dan maksud dari teks bahasa sumber. Menjadi “Diantara hukum yang mungkin bagi dzat-Nya ialah: Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sebab dan Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sebab pula.
Pada jumlah (kalimat) kedua, huruf wawu (و)  yang menurut Abdul Munif hanya berfaidah memperindah (Mujamalah). Ia lebih sering diganti dengan tanda koma (,), karena jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiyah dapat menimbulkan kerancuan.[25]
Sedangkan ذلك merupakan isim isyarah yang berfungsi (bermakna) kata ganti petunjuk (Demonstrative Pronoun). Adapun makna leksikalnya adalah itu. Akan tetapi, ketika diletakkan dalam konteks kalimat, penerjmahan isim isyaroh menjadi sangat bervariasi, dan terkadang tidak cocok jika diterjemahkan secara harfiyah.[26]
لا memiliki makna tidak dan jangan. Sedangkan واحد bermakna satu. Sehingga jika kalimat لا واحد digabungkan, maka terjemahannya adalah “tidak satupun”.  الأمْرَيْن berbentuk tatsniyah yang mufrodnya adalah أمْر, artinya adalah perkara atau masalah. Sehingga, manakala kalimat لأنّه لا واحد من الأمْرَيْن له لِذَاتِه digabungkan, terjemahan yang dihasilkan oleh penerjemah adalah “Demikian, adalah karena tidak satu pun diantara dua perkara itu (‘Ada’ dan ‘tidak ada’) yang dimiliki oleh sesuatu itu secara sekaligus.
Menurut penulis, terjemahan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran bisa disederhanakan lagi menjadi “Tidak satu pun diantara dua perkara itu (‘Ada’ dan ‘tidak ada’) dimiliki sekaligus.”
Selanjutnya, kalimat فَنِسْبَتُهُمَا terdiri dari beberapa suku kata, yaitu; fa’ (فَ) yang menurut fungsinya sama dengan wawu (Mujamalah). Akan tetapi, kaitannya denga teks ini, makna yang terkandung (maka) perlu ditulis dalam bahasa sasaran. Yang kedua adalah نِسْبَة yang berasal dari kataينسِبُ  نسَبَ. Maknanya adalah menyebutkan, perimbangan, menisbatkan atau menyandarkan. إلى adalah huruf jar yang memiliki beberapa faidah (baca: fungsi), yaitu al-Intiha’ (الانتهاء), al-Mushohabah (المصاحبة), dan bermakna ‘inda (بمعنى "عند")[27]. Adapun makna yang sering digunakan untuk menerjemahkannya adalah kepada atau ke. Sama halnya dengan إلى, huruf على juga merupakan huruf jar, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran menjadi atas  atau di atas. Kata berikutnya adalah السواء berasal dari akar kata سوى يسوي yang memiliki makna leksikal sama atau kesamaan, dengan pengecualian atau keadilan. Maka, ketika digabungkan penerjemah menerjemahkan menjadi “Maka menurut dzat-Nya, kedua perkara tadi adalah sama.”
Akhirnya, dari beberapa uraian di atas dapat dimunculkan alternatif terjemahan baru yang lebih mudah dan tanpa menghilangkan subtansi dan maksus dari teks bahasa sumber, yaitu: “Diantara hukum yang mungkin bagi dzat-Nya ialah: Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sebab dan Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sebab pula. Maka dari itu, tidak satu pun diantara dua perkara itu (‘Ada’ dan ‘tidak ada’) dimiliki sekaligus. Karena kedua perkara itu sama menurut dzat-Nya.



2.    Analisis Gramatikal
Gramatika adalah pembahasan tentang morfologi dan sintaksis. Dalam kajian bahasa arab, morfologi pararel dengan Shorf, sementara sintaksis pararel dengan Nahwu. Dua hal tersebut merupakan pilar terpenting tata bahasa Arab.[28]
Kaitannya dengan analisis gramatikal, pada teks di atas hanya terdiri dari dua inti kalimat tentang penjelasan hukum mumkin (حكم الممْكِنِ). Inti kalimat tersebut ada pada kalimat  أن لا يُوجد إلاّ بسببٍ وأن لا ينعَدِم إلاّ بسَبَب, dan لا واحد من الأمْرَيْن له لِذَاتِهِ، فَنِسْبَتُهُمَا إلى ذاته على السواء.
Kalimat pertama memiliki makna "Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sebab dan tidak mungkin ada tidak ada kecuali dengan sebab pula". Susunan yang terdiri dari dua kalimat yang sama susunannya, yaitu SPK (Subyek, Predikat dan Keterangan).
Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sebab.
S      P                                  K
Dan Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sebab pula.
         S         P                                              K
Pada dasarnya, kata keterangan bisa diletakkan sebelum subyek dengan ketentuan tanda baca koma (,). Misalnya:
Kecuali dengan sebab, Ia tidak mungkin ada, dan
K                                         S          P
Kecuali dengan sebab pula, Ia tidak mungkin tidak ada.
K                                                 S              P
Namun, dikarenakan jenis bahasa sumber (teoritis-abstraktif) yang menjelaskan tentang tauhid, maka penggunaan susunan seperti ini dapat menjadikan makna (maksud kalimat) tidak dapat langsung difahami.
Selain itu, penerjemah lebih banyak menggunakan teknik literal translation  yang menuntut penerjemah untuk mengikuti susunan atau struktur gramatika teks bahasa sumber, maka teks bahasa sasaran pun ‘cenderung’ sulit untuk difahami. Ini kemudian berpengaruh pada pemahaman pembaca atas teks sumber. Tetapi, pemilihan dan penyusunan kata yang tepat bisa mengatasi kedua permasalahan tersebut.
Disamping itu, menurut penulis penggunaan imbuhan atau tambahan (konjungsi) dalam bahasa sasaran terlalu berbelit, walaupun penerjemah sangat berhati-hati dalam memilih padanan kata.
Terjemahan di atas (bahasa sasaran) secara kaidah kebahasa Indonesiaan sudah benar dan penyusunan katanya sudah cukup tepat. Urutan kalimatnya mengikuti urutan kalimat bahasa sumber. Yaitu, berbentuk Khobar Muqoddam dan Mubtada’ Muakhor. Kalimat “Diantara hukum-hukum yang mungkin bagi dzat-Nya” merupakan bentuk Khobar Muqoddam. Sedangkan Mubtada’ Muakhor-nya yaitu “bahwa Ia tidak mungkin ada kecuali dengan sesuatu sebab. Begitu pula, bahwa Ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sesuatu sebab juga.”

Daftar Bacaan
Abduh, Muhammad. 1969. Risalah Al-Tauhid. Iskandaria: tp.
Abduh, Muhammad. 1989. Risalah Tauhid. (Terjm.:Firdaus A.N). Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Gholayaini, Musthofa. 2007. Jami’ al-Durus al-Arabiyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah
Ali, Atabik, Muhdlor, Ahmad Zuhdi. Tt. Al-Asri: Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Cet. 9). Jogyakarta: Multi Karya Grafika.
Al-Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Cet. 14 ). Jogyakaarta: Pustaka Progresif.
Burdah, Ibnu. 2004. Menjadi Penerjemah: Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana
Busyro, Muhtarom. 2005. Shorof Praktis “Metode Krapyak”. Jogjakarta: Menara Kudus
Fatawi, M. Faisol.2009. Seni Menerjemah. Malang: UIN-Malang Press.
Ibnu Ummu Qosim al-Marodi. Tt. Al-Jinni Al-Jani fi Huruf al-Ma’ani.
Mufid, Nur, dkk. 2007. Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Munip, Abdul. 2009. Stategi dan Kiat Menerjemah Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Jogyakarta: Teras.
Taufiqurrochman.2008. Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press






** Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang angkatan 2008.


[1] Faisol Fatawi, disampaikan pada saat kulaih kritik tarjamah Jum’at, 19 Maret 2011.
[2] Muhammad Abduh. 1969. Risalah Al-Tauhid. tp. Bab Hukum Mumkin
[3] Muhammad Abduh. 1989. Risalah Tauhid. (diterjemah; KH. Firdaus A.N). Jakarta: Bulan Bintang, hal. 20.
[4] M. Faisol Fatawi. Seni Menerjemah. UIN-Malang Press. 2009. hal.78.
[5] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab. UIN-Press Malang. 2008. Hal.82
[6] Ibnu Ummu Qosim al-Marodi. Al-Jinni Al-Jani fi Huruf al-Ma’ani.
[7] Musthofa al-Gholayaini. Jami’ al-Durus al-Arabiyah. Dar al-Kutub al-Ilmiah. 2007, hal. 10.
[8] Abdul Munip. Stategi dan Kiat Menerjemah Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Jogyakarta: Teras. 2009, hal. 130
[9] Mustofa Al-Gholayaini. Jami’ al-Durus. hal. 128, Juz III.
[10] Ahmad Warson Al-Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Jogyakaarta: Pustaka Progresif. 1997, hal. 286.
[11] Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor. Al-Asri; Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Jogyakarta: Multi Karya Grafika. Tt.hal. 1823.
[12]Ibid. hal.926
[13] M. Faisol Fatawi, Seni Menerjemah, UIN-Malang Press, 2009, hal.34
[14] Opcit. hal. 11
[15] M. Faisol Fatawi,… hal.37
[16] Ibid. hal. 38
[17] Al-Munawwir
[18] Abdul Munip. Stategi dan Kiat Menerjemah…, hal. 135.
[19] Ibid. hal. 132
[20] Nur Mufid,dkk. Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia.2007. Surabaya: Pustaka Progresif.hal. 122
[21] Kamus Al-Munawwir. Hal. 602
[22] Op.cit. hal.145.
[23] Kamus Al-Munawwir. Hal. 906.
[24] Abdul Munip.…, hal. 129.
[25] Abdul Munip,….hal.126.
[26] Nur Mufid, dkk…158.
[27] Mustofa Al-Gholayaini… hal. 130. Juz III.
[28] Ibnu Burdah. 2004. Menjadi Penerjemah Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana

Kamis, 16 Juni 2011

for Nusantara

Datanglah kepada rakyat, huduplah bersama rakyat, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu, bangunlah dari apa yang mereka punya.
Pendamping yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai dan tugas di rampungkan, rakyat berkata: “kami sendirilah yang mengerjakannya”.
Lao Tse 700 SM

Menghadirkan Islam Madani; Usaha Membangkitkan Kebersamaan

           Menghadirkan islam madani sering kita berfikir islam yang plural (majmuk), kalau berbicara tentang kemajemukan maka kita berbicara tentang realitas kehidupan alam semesta ,bukan Tuhan. Artinya, yang namanya realitas pada hakikatnya tunggal sebab semua bersumber dari tuhan Esa. Realitas sendiri terdiri atas beberapa prinsip: Pertama wujud pasti; kedua (al-‘aql al-awwal); ketiga di ruh, dan yang terakhir materi. Kemajemukan adalah realitas yang tak bisa di tolak, walaupun manusia menganggap bahwa kemajemukan merupakan suatu ancaman bagi eksistensinnya. Mereka sering berkata kemajemukan dapat menyebabkan konflik antara yang satu dengan yang lainnya.namun konflik sendiri merupakan sebagian dari realitas eksistensi manusia pula.kita jangan sampai terjebak sehingga mengatakan bahwa konflik selalu bernada buruk. Dalam konflik pastilah ada fungsi-fungsi positifnya. Oleh karena itu, konflik bisa di gunakan perubahan sosial. Misalnya, usaha-usaha menegakkan keadilan sosial bagi kaum perempuan lahir dari konflik yang sangat tajam untuk menuntut diadakannya emansipasi. Kita tahu di Inggris , misalnya, sebelum tahun 1889 seorang suami mempunyai hak untuk menjual istrinya.
          Adapun penafsiran Din dan Islam, di dalam  hadits Nabi telah di terangkan   yaitu ” Din adalah akal dan tidak ada Din bagi  orang-orang yang tak berakal”. Jadi kata Din disini adalah akal (hikmah), dari sini kita rumuskan satu kemestian berfikir. Sekuat apapun kita berfikir, akal kita akan bertemu keabsurdan. Sebab, di dalam al-qur’an mengatakan “ kehidupan dunia merupakan permainan dan senda gurau” (QS.al-An’am:32). Dan, hakikat permainan adalah dimengerti ketidakmengertiannya, disinilah kata Din dan islam, yang saya bahasakan proses berfikir untuk  tawadduk(tunduk) kepada sang pencipta .karna manusia di beri jabatan di muka bumi sebangai abdulloh dan kholifah fil ard. setelah melalui proses din (berfikir) yang cukup panjang singkat kata, penjelasan Din dan  Islam mengisyaratkan manusia untuk “adil dulu dalam berfikir, baru engkau bisa adil dalam bertindak”. Jadi din disini merupakan sisi-sisi kognitif, sedangkan islam merupakan sisi-sisi afektif. dengan kita mempunyai (din) pengetahuan yang luas (tawadduk kepada allah) kita sudah membentuk moral kita sendiri kepada sesama ciptaannya  dan  di sejajarkan dengan al-islam yang berarti arrohman arrokhim sehingga manusian tidak saling merusak dimuka bumi , karena allah sendiri tidak menyukai orang-orang yang merusak.



*  Malang, 17 Juni 2011

Selasa, 29 Maret 2011

ILMU NAHWU DAN ILMU SHORF (Pengantar Wacana Kajian Ushul Nahwu)*



Oleh Abdur Rahim **

A.  Pengertian Ilmu Nahwu dan Ilmu Shorf
Ta’rif Ilmu Nahwu menurut bahasa adalah contoh. Ta’rif ini menunjukkan bahwa dalam ilmu ini memuat banyak contoh yang diperlukan untuk dapat memahami suatu kaidah dan orang yang menguasai suatu kaidah dalam Ilmu Nahwu adalah orang yang mampu membuat contoh dari kaidah tersebut. Adapun Ta’rif Ilmu nahwu menurut istilah adalah “Sebuah Ilmu yang terdiri dari kaidah-kaidah umum yang dapat diketahui dengannya keadaan akhir kalimat Bahasa Arab dari segi i’rab dan Bina”.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang aturan akhir struktur kalimah (kata) apakah berbentuk rafa’, nashab, jar, atau Jazm.
Ilmu Sharf adalah ilmu yang membahaskan tentang shighah (bentuk) kalimah Arab dan hal ihwalnya dari mulai huruf asli, tambahan, shohih, sampai kepada ‘illat-nya. Sederhanya ilmu Sharf adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk tata kata      (Morfologi) di dalam bahasa Arab.
B.  Sejarah Perkembangan Ilmu Nahwu dan Shorf
Dorongan utama dari penyusunan Ilmu Nahwu ini adalah semata-mata untuk membentengi bahasa Arab dari kesalahan-ungkap (lahn) yang pada masa itu mulai menular serta merusak “edisi” Arab fusha.  
Dengan dilema yang ada, maka para ulama merasa khawatir atas keotentikan bahasa Arab yang akan berimplikasi pada pengkontaminasian cara membaca dan memahami al-Qur’an. Keprihatinan ini amatlah wajar sebab, sebelum bahasa Arab terjangkit lahn, masyarakat Arab sendiri sudah mendapat masalah internal dalam ketatabahasaan: mereka terbagi ke dalam klan (suku) yang bermacam-macam, tiap klan memiliki bahasa yang berbeda-beda antara satu dan yang lain. Upaya menyatukan bahasa menduduki urutan penting pertama sebelum memerangi virus lahn yang datang setelah agenda penaklukan (Arab: al-futûhât).
Atas perintah Khalifah Ali ibn Abi Thalib, Abu al-Aswad al-Duali (Nama lengkapnya: Dhalim ibn ‘Amru ibn Sofyan ibn Hambal ibn Jundl ibn Sulaiman ibn Hils al-Duali al-Kinnani (1 SH-69 H/605-688 M) berjuang untuk menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa Arab yang akan menjadi rujukan di kala terjadi kesalahan-ungkap tersebut.
Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa di sana banyak sekali pendapat yang menguatkan keabsahannya sebagai pioner Ilmu Nahwu (Arab: wâdhi`-u `Ilm al-Nahw-i) itu sendiri, seperti disinggung dengan bagus oleh Ahmad Amien, bahwa Ibn Qutaybah dalam kitab al-Ma’ârif mengafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang: “Yang pertamakali meletakkan dasar pondasi Nahwu”, Ibn Hajar pun dalam kitab Fî al-Ishâbah mengutarakan hal yang senada: “Orang yang pertamakali memberikan “titik” di mushaf dan meletakkan pondasi Nahwu adalah Abu al-Aswad.
Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu: Nashr ibn Ashim al-Laitsi (Wafat 89 H) dan Yahya ibn Ya’mur (Wafat 129 H) langsung siagap mengambil tongkat estafeta gurunya dalam mempelopori perkembangan bahasa Arab dari masa ke masa. Selang beberapa tahun kemudian, setelah kematian murid-murid Abu al-Aswad, munculah seorang ulama popular yang karya agungnya menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu: Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Estafeta Khalil ini melahirkan murid brilian, Sibawaehi, dengan karya besarnya: “al-Kitâb”.
Seperti amatan Ahmad Amien, dalam kitab al-Zubaidi Mukhtasar Kitâb al-`Ain misalnya, menyebut al-Kitâb karya Sibawaehi telah melumpuhkan kitab-kitab Nahwu sebelumnya dan mematahkan kitab-kitab Nahwu yang datang setelahnya. Ini adalah isyarat bahwa peran Sibawaehi sudah melampaui gurunya sendiri. Dalam mempelajari ilmu tata Bahasa Arab, prioritas yang harus diutamakan adalah Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharf sebagaimana kata sebagian ulama: إعلم أن  الصرف أم العلوم والنحو أبوها (Ilmu Sharf diasumsikan induk segala ilmu, sebab ilmu inilah yang dapat melahirkan semua bentuk kalimat, sedangkan kalimat-kalimat itu menjadi petunjuk segala ilmu. Adapun Ilmu Nahwu diasumsikan sebagai bapaknya karena ilmu inilah yang mengatur susunan kalimat tersebut).
Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik(ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama (sebagai spesialisasi Linguistik bahasa Arab). Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai sekarang. Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu.
Sejarah perkembangan Sharf sama dengan perkembangan ilmu nahwu, karena difahaminya ilmu nahwu menurut ulama-ulama terdahulu itu mengandung semua kaidah yang berkenaan dengan akhir kalimat dan bentuk-bentuknya. Jadi kedua ilmu ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena mereka mempunyai satu objek kajian yang sama, yaitu lafadz atau kata bahasa arab.
C.  Objek Kajian Ilmu Nahwu dan ilmu Shorf
Kedua ilmu ini sebenarnya memiliki objek kajian yang sama, yaitu kata dalam bahasa arab, tetapi Kajian ilmu nahwu selama ini lebih menitikberatkan pada persoalan kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk jabatan satu kata dalam kalimat. Dapat juga dikatakan bahwa pelajaran nahwu lebih fokus untuk mengetahui bagaimana bentuk akhir sebuah kata, i`râb ataukah mabni. Misalnya, menentukan apakah kata itu termasuk kategori marfû`ât, mansûbât, ataukah majrûrât untuk kata-kata yang berbentuk ism, atau kata tersebut masuk kategori marfû`at, mansûbat, ataukah majzûmat untuk kata-kata yang berbentuk fi`il. Maka pelajaran nahwu selama ini lebih kepada membicarakan harakat akhir sebuah kata dan kemudian menjelaskan sebab-sebab dan ilalnya.
Jika kajian ilmu nahwu lebih menitikberatkan pada persoalan kaidah-kaidah yang berlaku pada suatu kata dalam kalimat, maka kajian ilmu shorf lebih menitikberatkan pada pengetahuan tentang perubahan kata-kata dari satu bentuk ke bentuk yang lain sebelum masuk pada suatu kalimat. Misalkan membahas tentang wazn (timbangan kata), sighah (jenis kata) dan lain sebagainya.
Objek kajian dalam ilmu Sharf ini adalah lafadz-lafadz Arab dari bermacam-macam bentuk, seperti: والإدغام و نحوها صحة و الإعلال والاصالحة والزيادة واالحدف والإمالة.
Seperti juga ilmu Fiqh yang selalu diminati oleh orang-orang untuk dipelajarinya, maka ilmu Nahwu ini juga memiliki juga menarik banyak orang untuk mempelajarinya, sehingga menimbulkan madzhab-madzhab yang mempunyai berbagai pendapat.
Madzhab-madzhab itu adalah:
1.    Madzhab Basrah
Madzhab Basrah atau madrasah Bashrah adalah madzhab yang dirintis oleh ‘Anbasah, salah seorang yang disebut-sebut oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sebagai murid dan sahabat (ashbahi) Abu al-Aswad yang paling cerdas. Perkembangan madzhab ini dapat dibagi pada dua fase.
Fase pertama diwarnai dengan ulama-ulama nahwu yang sangat memahami tentang seluk-beluk ilmu nahwu dan sangat mahir dalam bahasa Arab, diantara ulama-ulama tersebut adalah:
a.    Nashr bin ‘Ashim al-Laitsiy dan Yahya bin Ya’mur
Mereka berdua memiliki jasa besar dalam kemajuan bahasa Arab didunia ini, yaitu dengan kreasi titik huruf-huruf  baik satu atau dobel (dua), untuk membedakan huruf-huruf yang mirip, seperti ba, ya, dan nun. Mereka melakukan hal tersebut atas perintah al-Hajjaj bin Khathib, pada mushhaf utsmani. Mereka pula yang merubah susunan abjad Arab sehingga seperti sekarang ini. Lalu mereka menggantikan titik-titik yang digunakan Abu al-Aswad digantikan dengan titik yang kita kenal sekarang yang dulunya hanya dengan alif (untuk bunyi fathah), wawu (untuk bunyi dhamah) dan ya (untuk bunyi kasrah). Abu al-Aswad memberi titik pada kata (kalimat), hanya untuk membedakan tiap akhir kata (baca: mengi’rabi). Sedang mereka memberi titik pada kata, tujuanya adalah untuk membedakan tiap huruf bagi orang ‘Ajam (non-Arab), yang mana ketika itu masih sering terbalik antara satu huruf dengan yang lainnya yang terdapat kemiripan.
Fase kedua, pada fase ini diwarnai dengan pengembangan-pengembangan ilmu nahwu yang telah ada. Diantara ulama-ulamanya adalah
b.   Abu Amr bin al-‘Ala dan Abudullah bin Ishaq al-Hadhramiy.
Ia adalah salah seorang ahli qiraat sab’ah. Abu Ubaidah mengomentari dirinya:”Ia merupakan orang yang paling pintar dalam qiraat, bahasa Arab, fase-fase (sejarah) orang-orang Arab, dan sya’ir. Ia memiliki buku banyak, hingga menumpuk sampai langit-langit rumahnya. Sedang Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhramiy adalah ulama nahwu yang sezaman dengan Abu Amr. Abu Amr lebih diunggulkan dalam bidang bahasa, sedang Abu Ishaq lebih diunggulkan  dalam bidang nahwu. Abu ishaq merupakan orang yang paling pintar dan cerdas di Bashrah. Ia adalah orang yang mengklasifikasikan pembahasan nahwu dan membuat kias. Dikatakan bahwa ia (Abu Umar) adalah ulama yang pertama membuat menta’lil nahwu.
c.    Khalil bin Ahmad
Merupakan puncaknya dalam penggalian masalah-masalah nahwu dan mensahkan penggunaan kias dalam nahwu. Ia merupakan orang yang meletakan kaidah-kaidah arudh (wazan syi’ir Arab klasik). Ia mengarang sebuah kitab yang sangat terkenal kitab al-‘Ain yang membuat batasan-batasan bahasa Arab. Ia merupakan guru Sibawaih.
d.   Dan masih banyak ulama-ulama lain yang berjasa dalam perkembangan ilmu nahwu.
Para ulama Bashrah memiliki tradisi kunjungan ke qabilah-qabilah Arab yang tinggal di pedalam-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari penutur aslinya. Mereka beranggapan bahwa bahasa Arab yang asli hanyalah ada di sana. Karena qabilah di pedalaman belum banyak berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar, jadi bahasanya pun masih asli terjaga.
2.    Madzhab Khufah
Madzhab Kufah adalah madzhab nahwu yang dirintis oleh Abu Ja’far al-Ruasiy. Ia merupakan ulama Kufah yang pertama menyusun kitab tentang (ketata) bahasa Arab-an,yaitu kitab al-Faishal. Suatu ketika ia memperlihatkan kitab yang dikarangnya kepada Khalil (salah satu ulama yang terkenal di kota Basrah). Setelah itu Khalil berkomentar: “Semua isi kitab Sibawaih, itulah yang diungkapkan oleh orang Kufah”. Maksud Khalil adalah al-Ruasiy ini. Sekelompok ulama Bashrah menganggap bahwa orang Kufah yang disebut-sebut al-Akhfash di akhir pembahasannya, yang kemudian menjadi rujukannya ialah al-Ruasiy. Dilihat dari karya-karyanya, seperti Kitab al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam’, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Qur’an, ia dinggap sebagai salah seorang ulama Kufah yang ahli qiraat.
Sekembalinya ke  Kufah,  ia  menemui  pamannya Mu’adz bin Muslim al-Hira, seorang ulama yang dijadikan rujukan dalam bidang bahasa Arab. Ia kemudian memfokuskan pada kajian sharaf serta permasalahan-permasalahannya secara khusus. Selanjutnya berdatanganlah orang-orang Kufah yang belajar padanya/mencatat pemikirannya untuk dikoreksi olehnya. Sehingga konon katanya, mereka lebih unggul dari ulama Bashrah dalam bidang itu (sharaf). Dari sana, sebagian ulama menganggap al-Ruasiy sebagai peletak pertama ilmu sharaf. Karena dari tangannyalah, muncul dua muridnya yang terkenal yaitu al-Kisaiy dan al-Farra.
Namun Syauqiy Dhaif berpendapat bahwa perintis madzhab Kufah adalah al-Kisaiy dan muridnya al-Farra. Karena mereka berdualah yang telah merumuskan pondasi ilmu nahwu. Sehingga ilmu nahwu yang berkembang di Kufah berbeda dengan yang Bashrah.
Ada beberapa perbedaan antara madzhab Basrah dan Kufah ini, yaitu:
1.    Para ulama Basrah dalam periwayatan bahasa (sima) dari orang Arab badwi, lebih kuat sanad-sanadnya walau tidak banyak. Sedang ulama Kufah sangatlah lemah, kendati lebih banyak meriwayatkan. Begitulah Khatib al-bagdadiy  memberikan gambaran perbedaan antara kedua madzhab tersebut.
2.    Para ulama Kufah sangat berbeda dengan ulama Basrah. Mereka kurang begitu ahli dalam mengunakan manthiq. Sehingga mereka banyak membuat kesalahan dalam membuat kaidah-kaidah nahwu. Mereka sering menjadikan kalimat-kalimat yang syadz dan jarang sebagai kaidah. Hal ini akan menyulitkan pada pembelajaran nahwu, karena terlalu banyak kaidah yang harus dipakai.
3.    Madzhab Andalusia
Madzhab ini didirikan oleh adalah Abu Ali al-Qali.  Namun sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Amin, semua ahli nahwu semenjak Abu Ali al-Qali, masih bertaqlid pada nahwu Sibawaih. Kendati ada beberapa ulama seperti Ibnu Malik dan Abu Hayyan, mereka hanya beriajtihad madzhab -kalau dalam istilah fiqih-, tidak berijtihad muthlaq. Karena memang Khalil bin Ahmad al-Farahidi beserta muridnya Sibawaih telah meletakkan pondasi nahwu dengan pilar-pilarnya yang kokoh, yang sulit digoyahkan pula ditumbangkan.
Tetapi ada seorang ulama Andalusia yang mencoba menggoyangkan pondasi Khalil dan Sibawaih tersebut. Ia bernama Ibnu Madha al-Qurthubiy. Ia berijtihad dengan mutlak dalam bidang nahwu.  Ia hidup pada masa dinasti al-muwahhidun.
Menurut Dr. Syauqi Dhaif, masa ini adalah masa ketika dikarangnya kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat. Masa ketika maghrib (Andalusia) memberontakan/revolusi masyriq (Bagdad), dalam segala hal, seperti fiqih dan cabang-cabangnya. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya. Begitulah kata Dhaif.
Langkah ini diikuti oleh Ibnu Madha al-Qurthubiy dengan mengarang kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat, dengan maksud untuk mengembalikan nahwu Masyriq ke tempatnya. Atau denga kata lain, ia hendak menolak beberapa pokok bahasan nahwu Masyriq dan memurnikannya dari cabang-cabang dan ta’wil sudah usang.
Ibnu Madha hendak merobohkan madzhab Sibawaih. Ia mengarang tiga buah kitab, yaitu al-musyriq fi al-nahw, tanzih al-Qur’an ‘amma la yaliqu bil bayan, dan al-Radd ‘ala al-Nuhat. Ketiga kitab tersebut berisi bantahan atas nahwu Sibawaih beserta para pendukungnya, serta menganjurkan untuk membentuk nahwu baru.
4.    Madzhab Mesir
Dalam pembahasan Madzhab Mesir ada yang disebut dengan Tobaqoh Ulama Nahwu Mesir dalam kitab "tobaqot an-nahwiyyin al-Misriyyin" karya Abu bakar az-zubaidi ada bab khusus tentang tobaqot ulama nahwu Mesir. Berikut adalah beberapa petikannya;

a.       Tobaqoh pertama
1)      Wilad at-Tamimi al-Mashodiri atau nama aslinya Walid bin Muhammad at-Tamimi al-Mashodiri. Berasal dari Basroh kemudian menetap di Mesir dan meninggal di bulan Rojab tahun 263 H.
2)      Mahmud ibnu Hasan. Nama aslinya Abu Abdillah Mahmud bin Hasan. Seorang ahli nahwu Mesir dan meninggal pada bulan Rojab tahun 272 H.
3)      Abu Hasan al-A'izzu. Belajar pada Ali bin Hamzah al-Kasa`I dan akhirnya menjadi ahli nahwu yang banyak dijadikan rujukan bagi orang-orang Andalus yang belajar padanya pada tahun 227 H.

b.       Tobaqoh kedua
1)      Abu Ali Ahmad bin Ja'far, berasal dari Dainuri sehingga sering menjadi nama panggilannya. Beliau belajar nahwu di Basroh kepada al-Mazani dan mempelajari kitabnya Sibaweh di Baghdad dengan Abi Abbas kemudian kembali ke Mesir setelah menikahi putri gurunya.
2)      Ibnu Mazro', nama lengkapnya adalah Abu Abdillah dan Abu bakar Yamut bin Mazro' bin Musa bin Sayyar al'abqoai. Berasal dari Basroh dan belajar di Baghdad dengan beberapa ulama, seperti; Mazani, Abi Khatim as-Sajistani, Riyasyi, Abdurrahman ibnu akhi Ashmu'i, Rofi' bin salamah, Amru bin bahr al-Jahith (pamannya). Ibnu Mazro' meninggal di thobariyah tahun 304H. pendapat lain mengatakan dia meninggal di Damsiq.
3)      Abu husain muhammad bin walid bin wulad at-tamimi. Berasal dari Basroh kemudian bersama ayahnya pindah ke Mesir. Beliau belajar nahwu dengan para ulama Mesir, seperti ; Abi Ali addainuri, Mahmud bin hasan dan ulama lainnya. Setelah itu Abu Husain pergi ke Irak dan bermukim di sana selama delapan tahun untuk memperdalam ilmu nahwu. Kitabnya yang terkenal dalam ilmu nahwu al-munmiq. Beliau wafat tahun 298 H dalam usia kelima puluh.

c.       Tobaqoh ketiga
1)      Abu hasan Ali bin hasan al-hana`I al-uzdi. Berasal dari Oman dan pindah ke Mesir bersama keluarganya. Beliau belajar dari para ulama di Baghdad baik dari kubu Basroh maupun Kuffah. Tapi, beliau lebih cenderung kepada pendapat Basroh meskipun dalam karya-karyanya beliau berusaha untuk memaparkan kedua-duanya dengan adil. Sehingga beliau sering diberi julukan Kuro' An-Naml. Adapun beberapa tulisan-tulisan pentingnya dalam bahasa adalah: al-mundid fi al-lughoh, al-mujarod fi lughoh wa mukhtasoruhu, almujhid fi-llughoh wa mukhtasoruhu, amtsilah ghorib al-lughoh, mushaf al-munadhom. Beliau wafat di Mesir pada tahun 310 H.
2)      Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Walid bin Muhammad at-tamimi. Belajar dengan ulama nahwu di Baghdad seperti Aba Ishaq bin Sirri az-zujaj dan yang lainnya. Abu Abbas Ahmad terkenal sangat bagus menurut Abu bakar Azzubaidi dalam kiasnya ketika berbicara tentang I'lal pada huruf wawu. Beliau wafat di Mesir pada tahun 332 H.
3)      Abu Qosim Abdullah bin Muhamad bin Walid bin Muhamad Attamimi
4)      Abu ja'far ahmad bin Muhamad bin Ismail bin Yunus. Terkenal dengan nama Abu ja'far Annahas.
5)      Abu Nasr Muhamad bin Ishaq bin asbath Alkindy.
6)      Ali bin Hasan bin Muhamad bin Yahya terkenal dengan nama Allan.
d.      Tobaqoh keempat
1)      Abu Bakar Muhamad bin Ali bin Muhamad al-Idfawi, dari salah satu perkampungan di Mesir.
2)       Abu Hasan Ali bin Ibrahim bin Said bin Yusuf alkhoufi dinisbatkan pada khof bilbis dari propinsi Syarqiyah dan nama desanya sering disebut dengan Syubro Nahlah.
3)      Abu Hasan Thohir bin Ahmad bin Babsyadz (dari kata Persi yang bermakna senang dan bahagia) bin Dawud bin Sulaiman bin Ibrahim. Menurut riwayat beliau berasal dari Dailim dan dulu kakek dan ayahnya adalah seorang pedagang yang datang ke Mesir.
4)       Abu Abdullah Muhamad bin Barokat bin Hilal bin Abdul Wahid As-saidi.

e.       Tobaqoh Kelima: Zaman Ayubiyah:
1)      Tajuddin Abu Fathi Ustman bin Isa bin Mansur bin Muhamad al-Bulthi berasal dari Musol.
2)      Abu Abdulghoni Taqiyuddin Sulaiman bin Banin bin Kholaf Ad-daqiqi.
3)      Abu Husain Zainuddin Yahya bin Abdulmu'thi bin Abdunnur Az-zawawi.
4)      Abulhusain Ali bin Abdussomad bin Muhamad bin Mufarroj dan dikenal dengan Ibnu ar-Rimah.
5)      Abulhasan Ilmuddin Ali bin Muhamad bin Abdussomad bin Abdul Ahad bin Abdul gholib Al-hamadani As-sakhowi.
6)      Abu Amru Jamaluddin Utsman bin Umar bin Bakar bin Yunus Ad-darini.

f.        Tobaqoh Keenam: Masa Mamalik;
1)      Abu Abdillah Bahauddin Muhamad bin Ibrahim bin Muhamad bin Abi Nasr ibnu an-Nahas.
2)      Asiruddin Muhamad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan.
3)      Abu Ali Badruddin Hasan bin Qosim bin Abdillah bin Ali Almurodi dikenal dengan Ibnu Ummu Qosim yaitu dinisbatkan pada neneknya dari ibu bapaknya yang bernama Zakhro'.
4)       Abu Muhamad Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Hisam Al-Ansori.
5)      Bahauddin Abdullah bin Abdirrohman bin Abdullah bin Muhamad bin Muhamad bin Aqil. Berasal dari Hamadan.
6)      Syamsuddin Muhamad bin Abdurrohman bin Ali bin Abilhusain Az-zamrudi dan dikenal dengan Ibnusshoigh.
7)      Muhibbuddin Muhamad bin Yusuf bin Ahmad bin Abdiddayim.
g.      Tobaqoh Ketujuh
1)      Izzuddin Muhamad bin Abi Bakar bin Abdil Aziz bin Muhamad bin Ibrahim bin Saadillah ibnu Jamaah dan berasal dari Khamah.
2)      Badruddin Muhamad bin Abi Bakar bin Umar bin Abi Bakar bin Muhamad bin Sulaiman bin Ja'far Ad-damamini.
3)      Abu Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Muhamad bin Muhamad bin Hasan bin Ali bin Yahya Ibnu Muhamad bin Kholfullah bin Kholifah As-syumna.
4)      Abu Abdullah Muhyiddin Muhamad bin Sulaiman bin Saad bin Mas'ud Arrumi Albar'ami dan dikenal dengan Al-Kafiji.

h.      Thobaqoh Kedelapan;
1)      Zainuddin kholid bin Abdullah.
2)      Abu Fadl Jalaluddin Abdurrohman bin Abi Bakar bin Muhamad bin Sabiq bin Utsman bin Muhamad bin Khidir bin Ayyub bin Muhamad bin Hamam dan dikenal dengan nama panggilan Assuyuthi karena berasal dari daerah Assyuth yaitu salah satu propinsi di Mesir.
3)      Abu Hasan Nuruddin Ali bin Muhamad bin Isa bin Yusuf bin Muhamad Al-Asymuni.
4)      Syihabuddin Ahmad Ashibagh.

i.        Thobaqoh Kesembilan; masa Utsmani:
1)      Abu Bakar Syihabuddin Ismail bin Umar bin Ali.
2)      Abdullah bin Abdurrohman bin Ali.
3)      Yasin bin Zainuddin bin Abi Bakar bin Alam.
4)      Yusuf bin Salim bin Ahmad Alkhafani (Khafana adalah daerah Mesir Utara).
5)      Abu Irfan Muhamad bin Shobban.
j.        Thobaqoh Kesepuluh; periode sekarang :
1)      Muhamad bin Ahmad 'Arfah Addasuqi. Lahir di desa Dasuq dari propinsi Kafur Syekh, Mesir. Merantau ke Kairo sejak kecil.
2)      Hasan bin Muhamad bin Mahmud Al-Attor. Berasal dari Maroko.
3)      Hasan bin Ali Qowaidir Al-kholili.
4)      Muhamad bin Musthofa bin Hasan Al-khudhori.
5)      Abdulhadi Naja Al-Ibari
5.    Madzhab Baghdad
Ada beberapa catatan terkait pembahasan madzhab bagdad, yaitu:
a.    Penopang Madzhab Baghdad
Pada masa-masa awal munculnya aliran Baghdad, yaitu sekitar abad ke-3 H, perkembangan ilmu nahwu di Baghdad lebih didominasi oleh pengaruh dari Kuffah dari pada pengaruh dari Bashrah.. Hal ini tidak lepas dari campur tangan kekuasaan khalifah-khalifah Bani Abbas. Dominasi pengaruh madzhab Kuffah ini masih terus terasa, dan baru dapat berkurang setelah tokoh-tokohnya meninggal dunia.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pakar nahwu Baghdad berupaya memadukan madzhab Kuffah dan Bashrah, kemudian mereka formulasikan ke dalam sebuah aliran baru yang disebut sebagai aliran Baghdad, di mana kaidah-kaidah yang mereka gunakan sebagian diambil dari kaidah-kaidah nahwu Kuffah, sebagian dari kaidah-kaidah nahwu Bashrah dan sebagian lagi adalah kaidah-kaidah nahwu baru hasil ijtihad ataupun istimbat mereka.
b.    Popularitas Madzhab Baghdad di Lingkungan Kerajaan dan di Daerah
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perkembangan ilmu pengetahuan agak terhambat karena adanya campur tangan dari pemerintah, yang lebih memihak pada madzhab Kuffah. Sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan pemerintah tersebut, membuat para ilmuwan berniat meninggalkan negeri Baghdad, yang mereka anggap tidak memberikan kedamaian.
Kondisi Baghdad yang demikian masih terus berlangsung sampai datangnya Abu Al-Husain Ahmad bin Abu Syuja’ Bawaih pada tahun 334 H ke negeri tersebut dan mendirikan kekhalifahan Persi di Baghdad. Dan dalam perkembangannya, wilayah pemerintahan Bani Abbas kemudian terpecah menjadi beberapa bagian.
Seiring dengan terpecahnya kerajaan Abbasiyah, maka para pecah pula ikatan madzhab Baghdad, karena para pakar nahwu yang bermadzhab Baghdad tersebut, terpisah oleh wilayah-wilayah yang berbeda. Karena wilayah mereka telah terpisah.
Oleh kaerena itu, selanjutnya para pakar nahwu tersebut menjalani kehidupan yang baru di wilayah mereka masing-masing. Hal ini berarti bahwa, para pakar tersebut mempunyai kebebasan untuk mengembangkan madzhab nahwu mereka, bebas dari pengaruh dan tekanan siapapun, termasuk pengaruh dan tekanan dari pemerintahan Bani Abbas, sehingga mereka bebas berijtihad tanpa terpengaruh oleh pakar-pakar di wilayah lain kecuali untuk kepentingan perkembangan bahasa Arab.
c.    Misi Baru Madzhab Baghdad
Berbeda dengan pemerintahan Bani Abbas, maka pemerintahan baru yang ada di Baghdad lebih memberi perlindungan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan menghormati para ilmuwan pada masing-masing bidangnya. Mereka diberi kesempatan untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bahasa Arab, bahkan lebih dari itu, mereka dianggap sebagai bagian dari kerajaan meskipun mereka berasal dari wilayah lain. Pada masa pemerintahan As-Saljuqiyah, didirikanlah madrasah yang pertama dalam sejarah. Dikatakan pertama karena pada masa sebelumnya, proses pendidikan hanya berlangsung di masjid-masjid saja. Perhatian lebih dari pemerintah terhadap ilmu pengetahuan dan ilmuwan ini, selanjutnya memacu semangat para ilmuwan untuk lebih produktif. Sehingga pada masa tersebut, banyak bermunculanlah pengarang-pengarang besar nahwu, lebih dari apa telah ada sebelumnya, karena pada umumnya, mereka tidak cukup puas hanya menggunakan kaidah-kaidah dari pendahulu mereka saja, akan tetapi mereka mengembangkannya dengan ijtihad mereka sendiri. Dengan adanya perbedaan lingkungan dan juga perbedaan nuansa politik yang ada, selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap para ilmuwan. Ilmuwan yang ada pada masa pemerintahan saat ini (setelah pemerintahan Bani Abbas) disebut para ilmuwan (pakar) kontemporer, sedangkan ilmuwan yang ada pada masa sebelumnya (pada masa pemerintahan Bani Abbas) disebut sebagai ilmuwan (pakar) konvensional (tradisional). 



















 *Makalah Ushul Nahwu; Pengantar dan Wacana Tentang Madzhab-madzhabnya. 
**Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites