Oleh Abdur Rahim
Idung
Saya ingin memulai tulisan ini
dengan kehilangan dompet milik Kak Sabir (Khalikussabir,Red) tadi malam (Rabu, 24
April 2013) ketika perjalanan menuju acara tahlilah perdana wafatnya KH.
Sumantry Zakariya, MA, salah satu dosen FAI UNISMA dan Imam Masjid Jami’ Kota
Malang. Kehilangan tersebut membuat kami berdua (saya dan kak Sabir, Red.)
kebingungan karena walaupun dompet itu tidak berisikan uang, tetap penuh dengan
SIM A dan C, ATM BCA dan Mandiri, STNK dengan nomor polisi B-2003-BB, E-KTP dan
beberapa lembar berkas kecil lainnya.
Pasalnya, dalam perjalanan pulang
dan pergi dari acara tahlilan, kami ngobrol berdua beberapa issuyang sedang
terjadi di Kota Malang. Perjalanan mulai dari rumah kontrakannya Kak Sabir di
Jl. Sunan Kalijaga Dalam sampai dengan rumah almarhum KH. Sumantry Zakarya, MA.
Bugitu juga pulang dengan rute yang sama.
Hari ini (kamis, 25 April 2013),
kami berniat melaporkan berita kehilangan ke Kapolsek Lowokwaru Malang. Sekitar
pukul 10.30 WIB kita berangkat dari Wisma Kalimetro. Dalam salah satu ruangan,
kami menunggu pelayanan dari petugas yang berjadwal. Sekian lama kami menunggu,
datang seorang petugas yang menyuguhkan rokok 234 (Dji Sam Soe) dan kopi hitam.
Katanya dengan santai, “monggo di samba rokok dan kopinya cong”, sembari
meninggalkan kami berdua dalam ruangan yang pengap walaupun berdekatan dengan
jendela yang kecil.
Sesaat kemudian datang lagi seorang
yang bertugas mencatat dan menyediakan surat keterangan kehilangan. Sembari menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dibuthkan untuk dituliskan dalam surat keterangan,
seorang yang menyuguhkan rook dan kopi tadi mengajak ngobrol kami berdua.
Perbincangan dimulai dari
perkenalan saya dan kak Sabir. Kemudia dilanjut dari Bapak Polisi yang tadi, (maaf,
nama dan alamat saya rahasiakan). Setelah melakukan perkenalan dan bincang
ringan, pak polisi kemudian menyinggung masalah tahlilan. Setelah ia meminta
saya untuk mengajarkan ngaji dan bahasa arab, -setelah tahu kalau saya jurusan
Bahasa dan Sastra Arab.
Menurutnya, tidak ada dasar bahwa
tahlilah itu adalah sebuah kewajiban, selain untuk menjalin silaturrahim dan
mendoakan seduluran (sesama manusia dan umat Islam). Semua ibadah termasuk tahlilan, dilakukan
harus dengan tiga dasar subtansial, yaitu niatan yang sungguh-sunggu, cara yang
benar dan tujuan yang baik. Tidak ada kaitannya dengan Tuhan, yang ada adalah
sebuah ejawantah sikap kemakhlukan yang “sangat” membutuhkan kepada Allah SWT. Termasuk
silaturrahim dan mendoakan orang mati melalui (forum) tahlilan adalah sebuah
pengakuan kita terhadap Allah SWT bahwa orang yang meninggal adalah makhluk
yang baik, umat Islam. Kembalinya tetap kepada Allah SWTnya, tidak perlu
merisaukan ungkapan dan “tuduhan” entitas lain terhadap apa yang kita lakukan.
Polisi yang mengaku tidak bisa
mengaji dan belum pernah belajar agama tersebut menambahkan bahwa dalam hidup
kemanusiaan ada yang disebut dengan tahapan hakikaat dan ma’rifat, sedangkan
syari’at adalah salah satu cara menghubungkan makhluk (baca: manusia) dengan
Allah SWT. “Sing penting tetap berjalan lurus menuju Allah SWT, karena itu
adalah ajaran dalam Al-Qur’an. Coba adek cek di dalam surat al-Jin ayat 16, dan
terus belajar sampai akhir hayat. Tak tergantung usia dan posisi jabatan,”
tambahnya. Bahwa dalam ajaran Al-Qur’an, tujuan besarnya adalah Allah SWT
melalui Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia sebuah kecerdasan intelektual. Dengan
kecerdasan intelektual tersebut, manusia diharapkan dapat melihat mana yang
benar dan mana yang salah. Dengan kecerdasan itu pula, manusia bisa menentukan
perilaku dengan kunci penilaian yang ada di dalam hati. Artinya, dengan
kecerdasan hati bisa mengontrol semua perilaku yang akan dilakukan oleh manusia
(khususnya, umat Islam).
Jadi, tidak akan ada istilahnya
manusia menyalahkan makhluk lain Allah yang memang bertugas untuk menggoda
manusia, dalam hal ini adalahg setan yang terkutuk (syaithonir rojim). Keterkutukan
setan (ar-rojim) tidaklah menjadi masalah yang besar, seharusnya. Kalau boleh
dibilang setan itu berjasa mungkin, karena dengan adanya setan yang terkutut
maka ada kesempatan bagi manusia untuk mencapai kemenangan, “fauzan adzima” atau
“yaumul falah”. Itulah scenario Tuhan terhadap manusia dengan
diciptakannnya makhluk yang menjadi musuh abadinya, “’aduwwun mubin”.
Seketika saya teringat dengan status
seorang guru saya, Dr. H. Sakban Rosidi, M.Si, mengatakan bahwa “banyak orang bermoral tidak pintar.
Banyak orang pintar tidak bernalar. Tetapi semoga semua orang bernalar akan
bermoral dan pintar”. Berlanjut kemudia saya berfikir, -sembari tetap mendengarkan
obrolan dengan Polisi-, asalkan manusia Indonesia mau bernalar dan nalarnya
digunakan untuk melihat mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang
boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, mana yang baik dan mana
yang jelek, mana yang menjunjung tinggi aspek keadilan dan mana yang tidak,
mana yang bertujuan untuk kesejahteraan dan yang tidak, serta mana yang indah
dan mana yang jelek, maka Negara kita bahkan dunia akan “selesai”, sesuai
dengan harapan.
Setelah sekitar dua jam kami
gobrol (pukul 11.00-13.00 WIB) dan saya menghabiskan rokok Dji Sam Soe
yang suguhkan kepada kami berdua, serta segelas kopi hitam, pak polisi
mengakhiri dengan statemen “Gus, Kiai atau para Wali adalah sebagai media untuk
melihat tingkah seorang junjungan orang Islam, Rosulullah SAW. Tujuannya tetap kepada warisannya rosul yang
30 Juz (Al-Qur’an, Red) dan sunnaturrasul.”
“Untuk Mas Rohim,” imbuhnya, “jangan
terlalu vocal di jalan, sekedarnya saja.” Kemudian saya tersentak kaget (dalam
hati), ‘kok bisa tahu kalo saya (dulu) sering ikut aksi di jalan, padahal saya
hanya menjelaskan tentang jurusan kuliah saya di UIN Mulana Malik Ibrahim
Malang’. Semoga Allah memberkati kita semua dan mengembalikan dompet yang
hilang. Wallahu a’lamu.