Kamis, 25 April 2013

DUA JAM BERSAMA PAK POLISI


Oleh Abdur Rahim Idung

Saya ingin memulai tulisan ini dengan kehilangan dompet milik Kak Sabir (Khalikussabir,Red) tadi malam (Rabu, 24 April 2013) ketika perjalanan menuju acara tahlilah perdana wafatnya KH. Sumantry Zakariya, MA, salah satu dosen FAI UNISMA dan Imam Masjid Jami’ Kota Malang. Kehilangan tersebut membuat kami berdua (saya dan kak Sabir, Red.) kebingungan karena walaupun dompet itu tidak berisikan uang, tetap penuh dengan SIM A dan C, ATM BCA dan Mandiri, STNK dengan nomor polisi B-2003-BB, E-KTP dan beberapa lembar berkas kecil lainnya.
Pasalnya, dalam perjalanan pulang dan pergi dari acara tahlilan, kami ngobrol berdua beberapa issuyang sedang terjadi di Kota Malang. Perjalanan mulai dari rumah kontrakannya Kak Sabir di Jl. Sunan Kalijaga Dalam sampai dengan rumah almarhum KH. Sumantry Zakarya, MA. Bugitu juga pulang dengan rute yang sama.
Hari ini (kamis, 25 April 2013), kami berniat melaporkan berita kehilangan ke Kapolsek Lowokwaru Malang. Sekitar pukul 10.30 WIB kita berangkat dari Wisma Kalimetro. Dalam salah satu ruangan, kami menunggu pelayanan dari petugas yang berjadwal. Sekian lama kami menunggu, datang seorang petugas yang menyuguhkan rokok 234 (Dji Sam Soe) dan kopi hitam. Katanya dengan santai, “monggo di samba rokok dan kopinya cong”, sembari meninggalkan kami berdua dalam ruangan yang pengap walaupun berdekatan dengan jendela yang kecil.
Sesaat kemudian datang lagi seorang yang bertugas mencatat dan menyediakan surat keterangan kehilangan. Sembari menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dibuthkan untuk dituliskan dalam surat keterangan, seorang yang menyuguhkan rook dan kopi tadi mengajak ngobrol kami berdua.
Perbincangan dimulai dari perkenalan saya dan kak Sabir. Kemudia dilanjut dari Bapak Polisi yang tadi, (maaf, nama dan alamat saya rahasiakan). Setelah melakukan perkenalan dan bincang ringan, pak polisi kemudian menyinggung masalah tahlilan. Setelah ia meminta saya untuk mengajarkan ngaji dan bahasa arab, -setelah tahu kalau saya jurusan Bahasa dan Sastra Arab.
Menurutnya, tidak ada dasar bahwa tahlilah itu adalah sebuah kewajiban, selain untuk menjalin silaturrahim dan mendoakan seduluran (sesama manusia dan umat Islam).  Semua ibadah termasuk tahlilan, dilakukan harus dengan tiga dasar subtansial, yaitu niatan yang sungguh-sunggu, cara yang benar dan tujuan yang baik. Tidak ada kaitannya dengan Tuhan, yang ada adalah sebuah ejawantah sikap kemakhlukan yang “sangat” membutuhkan kepada Allah SWT. Termasuk silaturrahim dan mendoakan orang mati melalui (forum) tahlilan adalah sebuah pengakuan kita terhadap Allah SWT bahwa orang yang meninggal adalah makhluk yang baik, umat Islam. Kembalinya tetap kepada Allah SWTnya, tidak perlu merisaukan ungkapan dan “tuduhan” entitas lain terhadap apa yang kita lakukan.
Polisi yang mengaku tidak bisa mengaji dan belum pernah belajar agama tersebut menambahkan bahwa dalam hidup kemanusiaan ada yang disebut dengan tahapan hakikaat dan ma’rifat, sedangkan syari’at adalah salah satu cara menghubungkan makhluk (baca: manusia) dengan Allah SWT. “Sing penting tetap berjalan lurus menuju Allah SWT, karena itu adalah ajaran dalam Al-Qur’an. Coba adek cek di dalam surat al-Jin ayat 16, dan terus belajar sampai akhir hayat. Tak tergantung usia dan posisi jabatan,” tambahnya. Bahwa dalam ajaran Al-Qur’an, tujuan besarnya adalah Allah SWT melalui Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia sebuah kecerdasan intelektual. Dengan kecerdasan intelektual tersebut, manusia diharapkan dapat melihat mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kecerdasan itu pula, manusia bisa menentukan perilaku dengan kunci penilaian yang ada di dalam hati. Artinya, dengan kecerdasan hati bisa mengontrol semua perilaku yang akan dilakukan oleh manusia (khususnya, umat Islam).
Jadi, tidak akan ada istilahnya manusia menyalahkan makhluk lain Allah yang memang bertugas untuk menggoda manusia, dalam hal ini adalahg setan yang terkutuk (syaithonir rojim). Keterkutukan setan (ar-rojim) tidaklah menjadi masalah yang besar, seharusnya. Kalau boleh dibilang setan itu berjasa mungkin, karena dengan adanya setan yang terkutut maka ada kesempatan bagi manusia untuk mencapai kemenangan, “fauzan adzima” atau “yaumul falah”. Itulah scenario Tuhan terhadap manusia dengan diciptakannnya makhluk yang menjadi musuh abadinya, “’aduwwun mubin”.
Seketika saya teringat dengan status seorang guru saya, Dr. H. Sakban Rosidi, M.Si, mengatakan  bahwa “banyak orang bermoral tidak pintar. Banyak orang pintar tidak bernalar. Tetapi semoga semua orang bernalar akan bermoral dan pintar”. Berlanjut kemudia saya berfikir, -sembari tetap mendengarkan obrolan dengan Polisi-, asalkan manusia Indonesia mau bernalar dan nalarnya digunakan untuk melihat mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, mana yang baik dan mana yang jelek, mana yang menjunjung tinggi aspek keadilan dan mana yang tidak, mana yang bertujuan untuk kesejahteraan dan yang tidak, serta mana yang indah dan mana yang jelek, maka Negara kita bahkan dunia akan “selesai”, sesuai dengan harapan.
Setelah sekitar dua jam kami gobrol (pukul 11.00-13.00 WIB) dan saya menghabiskan rokok Dji Sam Soe yang suguhkan kepada kami berdua, serta segelas kopi hitam, pak polisi mengakhiri dengan statemen “Gus, Kiai atau para Wali adalah sebagai media untuk melihat tingkah seorang junjungan orang Islam, Rosulullah SAW.  Tujuannya tetap kepada warisannya rosul yang 30 Juz (Al-Qur’an, Red) dan sunnaturrasul.”
“Untuk Mas Rohim,” imbuhnya, “jangan terlalu vocal di jalan, sekedarnya saja.” Kemudian saya tersentak kaget (dalam hati), ‘kok bisa tahu kalo saya (dulu) sering ikut aksi di jalan, padahal saya hanya menjelaskan tentang jurusan kuliah saya di UIN Mulana Malik Ibrahim Malang’. Semoga Allah memberkati kita semua dan mengembalikan dompet yang hilang. Wallahu a’lamu.

Sabtu, 16 Februari 2013

Para Kiai Bangsa

Para Pilar bangsa. kiai yang harus selalu diingat jasanya, al-fatihah.

Minggu, 06 Januari 2013

Ngaji pada Ki Agus Sunyoto, Mencari Tuhan Melalui Hati dan Akal

Oleh: Abdur Rahim iDung

Hujan diterjang. Segala cuaca tidak menjadi halangan. Santri-santri Pesantren Global asuhan Ki Agus Sunyoto selalu menyempatkan diri untuk “ngaji” pada hari yang sudah ditentukan, Selasa dan Jum’at. Pesantren yang bernamakan Tarbiyatul Arifin.
Kajian rutinan yang diadakan di Pesantren Global menjadi wahana intelektual dan refleksi kebangsan atas realitas ilmiah yang ada di alam sekitar manusia (Indonesia) bagi para santri pesantren yang notabene adalah beberapa mahasiswa dan masyarakat umum. Kajian yang dikenal dalam istilah komunitas menggunakan nalar “post-hegemoni”.
Metode yang digunakan dalam pengajian adalah metode “badongan” atau bandongan“ (tepatnya Neo-Badongan atau Neo-Bandongan). Yaitu sistem transfer keilmuan atau proses belajar mengajar yang ada di pesantren di mana guru (baca: kiai) membacakan dan menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru (kiai). Kelompok dari badongan neo-bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok murid yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Halaqoh yang diharapkan menjadi komunitas produktif dan peka terhadap ilmu pengetahuan dan realitas global.
Catatan saya (Jum’at, 02/01/2013) tentang subtansi do’a dan iman. Setelah lama saya tidak mengikuti pengajian. Ki Agus menyampaikan bahwa do’a adalah sebuah keniscayaan bagi seorang makhluk Tuhan. Karena dengan do’a-lah ia bisa lihat tingkat keimanannya. Banyak orang (beragama) Islam tapi sedikit orang Mukmin.
Salah satu contoh yang bisa dipetik dari sebuah ijazah (baca:kanuragan) yang digemari oleh orang-orang dahulu, jika betul-betul dikerjakan muaranya ada pada taqorrub ilallah, walaupun ada juga aliran yang tidak mengarah kesana. Rutinitas yang dilakukan oleh orang-orang yang mengamalkan dzikir tersebut membawa mereka pada keyakinan dan kekhusyu’an seorang hamba Tuhan. Sehingga, akibat dari keyakinan tersebut muncul dampak-dampak empiric yang kemudian bias dilihat, sebut saja “ngelmu tahan tebas” dan semacamnya. Itulah Islam, corak yang muncul dari ilmu dan keyakinan dapat menjadi “kesenian” yang bisa menyambungkan manusia dengan Tuhan.
Do’a itu adalah jantungnya ibadah. Addu’a wasillatul mukmin. Do’a juga sebagai senjatanya orang mukmin, bukan sekedar muslim. Di dalam do’a, sesuatu yang tidak masuk akal jadi masuk akal. Mengenai keyakinan, di zaman ini orang beragama namun tidak beriman. Ia tidak berdo’a karena keyakinannya lemah. Berdo’a harus dengan keyakinan (termasuk dalam semua agama-agama). Padahal erat kaitannya antara do’a dan yang diyakini. Kualitas rohani atau keimanan mempengaruhi dikabulkannya do’a. bahkan tidak harus dengan do’a-pun, tapi melalui keyakinan (menyebut dalam hati), tuhan mendengar. Keimanan itu yaqin, Haqqul yakin.
 Tentang mengingat Allah SWT. Apakah kita semua telah yakin adanya Allah? Kebanyakan kita belum yakin adanya Allah (Wujud). Setiap waktu luang kita manfaatkan untuk mengingat Allah.  aat itu pulalah sebenarnya kita juga berdoa. Saat itu kita berusaha “memeluk” yang memelihara dan mengarahkan hidup. Maka berdzikirlah sebanyak-banyaknya. Wallahu a’lamu.
Sekali lagi, Pesantren Global Tarbiyatul Arifin hadir dan selalu berusaha menjadi wadah pengembangan intelektual dan refleksi realitas kehidupan, orientasinya tetap, yaitu pada mempekuat posisi hablun minallah.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites