Oleh:
Abdur Rahim Idung*
Prakata
Kasus
penyerangan terhadap warga Syi’ah di Sampang Madura menuai pro dan kontra.
Banyak ormas dan organisasi kemahasiswaan mengecam tindak kekerasan tersebut.
Tindakan yang dianggap melanggar HAM, tidak berprikemanusiaan, dan lain
sebagainya. Disamping juga dukungan terhadap tindak tersebut melalui forum
diskusi atau halaqoh-halaqoh oleh kalangan tertentu.
Terlepas dari
issu yang “cenderung” dibuat-buat oleh kelompok yang berkepentingan. Dimanakah
posisi PMII? Sebagai entitas intelektual yang berlandaskan faham Ahlussunnah
Wal-Jama’ah dan semangat keadilan, kemanusiaan, solidaritas yang tinggi, PMII
perlu memposisikan diri sebagai bagian dari proses itu. Maka, keberadaan PMII
tidak hanya sebagai counter discours (wacana
tandingan). Lantas, seperti apa seharusnya sikap PMII dalam ketatnya dialektika
keagamaan yang terjadi? Serta bagaimana PMII menyo’al tragedi Sampang?
Apa itu Syi’ah? serta perbedaan dengan Sunni.
Secara sederhana,
Syi’ah adalah pengikut amirul mukminin Ali bin Abi Thalib AS atas dasar
mencintai dan meyakini kepemimpinannya sesudah wafatnya Rasulullah SAW tanpa
terputus (oleh orang lain). Tidak mengakui kepemimpinan orang sebelum Sahabat Ali
bin Abi Thalib sebagai pewaris kedudukan khalifah dan hanya meyakini Ali
sebagai pemimpin, bukan mengikuti salah satu dari orang-orang sebelumnya (Abu
Bakar, Umar dan Utsman). Namun, kemunculan kelompok (baca: firqoh) ini awali
dengan kejadian tahkim antara Sahabat Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
bin Abi Sufyan dan memuncak pasca terbunuhnya Husein bin Ali di Karbala.
Dalam
ajaran Syi’ah, pemimpin (imamah) berjumlah 12 (dua belas) yang wajib diimani
dan dipatuhi. Mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Hasan bin Ali al-Zaky, Husein
bin Ali al-Syahid, Ali bin Husein ZainalAbidin, Muhammad bin Ali al-Baqir,
Ja’far bin Muhammad al-Shodiq, Musa bin Ja’far al-Kadzim, Ali bin Musa
al-Ridho, Muhammad bin Ali al-Jawwad, Ali bin Muhammad al-Hadi, Hasan bin Ali
al-‘Askari, dan Muhammad bin Hasan al-Mahdi (Imam al-Mahdi).
Syi’ah
terpecah menjadi beberapa madzahib (baca: kelompok atau alairan), yaitu,
Syi’ah
Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.
Kaitannya
dengan Ahlussunnah Wal-Jama’ah memang ada perbedaan mendasar. Dari rukun-rukun
Islam misalnya, bagi Syi’ah, rukun Islam yang diyakini adalah sholat, zakat,
puasa, haji, wilayah, yaitu pengakuan kepemimpinan (khalifah) Sahabat
Ali bin Abi Tholib serta anak cucunya. Sedangkan dalam rukun iman ada lima,
yaitu al-Tauhid, al-Nubuwwah, al-Imamah, al-’Adlu (Keadilan), al-Ma’aad (akhirat).
Selain itu, perbedaan mendasar (meyakini) pada teks al-Qur’an dan hadits. Bagi
Syi’ah, terdapat nash Al-Qur’an dan hadits yang sudah tidak otentik lagi
karena perubahan-perubahan yang dilakukan oleh golongan pro khalifah
sebelum Ali. Sementara kaum Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa nash
Al-Qur’an terjaga otentitasnya, pun demikian denga hadits.
Perbedaan
antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah (baca: PMII) dan Syi’ah sudah jelas, yaitu teologis.
Tidak hanya itu, Mbah Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa madzhab yang menjadi
landasan pijak kaum Syi’ah adalah Bid’ah. secara subtantif teologis, tidak ada
keterkaitan antara keduanya. Namun, demikian, dari aspek kemanusiaan dan hokum,
antara keduanya adalah sama.
Nilai-nilai
yang diperjuangkan dan dijunjung tinggi oleh PMII, sesuai dengan Nilai Dasar
Pergerakan, adalah hablun min an-nas (relasi humanistik) atau yang
disebut dengan ukhuwah insaniyah.
PMII, Menyo’al Kasus Sampang
Sebagai
kaum yang egaliter dan tidak konservatif, PMII meyakini bahwa hakikat
kemanusiaan tidak hanya diukur dari segi keyakinan teologis an sich. Hak
hidup menjadi persoalan yang selalu harus diperjuangkan oleh sesama umat
manusia, terlebih sesama muslim. Perbedaan teologis atau keyakinan tidak
menjadi jarak dalam berintraksi.
Islam
adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa
pandang bulu. Sebagai agama kemanusiaan, Islam meletakkan manusia pada posisi
yang sangat mulia. Manusia digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai makhluk yang
paling sempurna dan harus dimuliakan. Bersandar dari pandangan kitab suci ini,
perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam Islam tidak lain
merupakan tuntutan dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap
pemeluknya.
Sedangkan
hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola
harta yang dimilikinya. Namun demikian, Islam menekankan bahwa pada setiap hak
manusia terdapat hak Allah; meskipun seseorang berhak memanfaatkan hartanya,
tetapi ia tidak boleh menggunakan harta keluarganya untuk tujuan yang
bertentangan dengan ajaran Allah. Keadilan sebagai inti ajaran Islam menekankan
bahwa hak kepemilikan harus memiliki nilai sosial.
Keyakinan yang kita pahami kemudian semestinya bukan
hanya sebagai sarana beragama untuk menghadap Tuhan di tempat beribadah, tapi
juga sebagai sarana ‘menghadap’ kepada-Nya di mana saja, berupa amalan
nyata untuk mengatasi problem sosial
kemanusiaan. Oleh karena itu, sungguh bukan tindakan yang simpati apabila
seseorang ataupun lembaga dengan gampang mentakfirkan tindakan ataupun
pemikiran kelompok atau individu lain.
Dalam konteks kebangsaan, ijtihad PMII dalam
memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dan pancasila diwujudkan dalam membela
keadilan dan kebenaran terhadap siapa saja dengan semangat tasamuh (toleran),
tawassuth (moderat), tawazun (seimbang) dan ta’adul (tegak
lurus). Kehadiran PMII juga (akan) menjadi problem solver atas konservatisme
kelompok tertentu. Bukan berarti PMII hadir dengan wajah libarilisme, akan
tetapi, hadir dengan membawa Islam Inklusif dan akomodatif terhadap seksama.
Tragedi
penyerangan kelompok Syi’ah di Sampang seharusnya menjadi pelajaran berharga
bagi bangsa Indonesia. Bahwa, hakikat dan hak untuk hidup sangat penting dan
berharga. Tindakan saling kecam tidak akan membantu Negara dalam menyelesaikan
persoalan bangsa. Maka, segala tindakan penistaan agama tidaklah patut dan
perlu untuk ditindaklanjuti secara hukum. Wallahu a’lamu bissowab.
0 komentar:
Posting Komentar