Minggu, 06 Januari 2013

Ngaji pada Ki Agus Sunyoto, Mencari Tuhan Melalui Hati dan Akal

Oleh: Abdur Rahim iDung

Hujan diterjang. Segala cuaca tidak menjadi halangan. Santri-santri Pesantren Global asuhan Ki Agus Sunyoto selalu menyempatkan diri untuk “ngaji” pada hari yang sudah ditentukan, Selasa dan Jum’at. Pesantren yang bernamakan Tarbiyatul Arifin.
Kajian rutinan yang diadakan di Pesantren Global menjadi wahana intelektual dan refleksi kebangsan atas realitas ilmiah yang ada di alam sekitar manusia (Indonesia) bagi para santri pesantren yang notabene adalah beberapa mahasiswa dan masyarakat umum. Kajian yang dikenal dalam istilah komunitas menggunakan nalar “post-hegemoni”.
Metode yang digunakan dalam pengajian adalah metode “badongan” atau bandongan“ (tepatnya Neo-Badongan atau Neo-Bandongan). Yaitu sistem transfer keilmuan atau proses belajar mengajar yang ada di pesantren di mana guru (baca: kiai) membacakan dan menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru (kiai). Kelompok dari badongan neo-bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok murid yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Halaqoh yang diharapkan menjadi komunitas produktif dan peka terhadap ilmu pengetahuan dan realitas global.
Catatan saya (Jum’at, 02/01/2013) tentang subtansi do’a dan iman. Setelah lama saya tidak mengikuti pengajian. Ki Agus menyampaikan bahwa do’a adalah sebuah keniscayaan bagi seorang makhluk Tuhan. Karena dengan do’a-lah ia bisa lihat tingkat keimanannya. Banyak orang (beragama) Islam tapi sedikit orang Mukmin.
Salah satu contoh yang bisa dipetik dari sebuah ijazah (baca:kanuragan) yang digemari oleh orang-orang dahulu, jika betul-betul dikerjakan muaranya ada pada taqorrub ilallah, walaupun ada juga aliran yang tidak mengarah kesana. Rutinitas yang dilakukan oleh orang-orang yang mengamalkan dzikir tersebut membawa mereka pada keyakinan dan kekhusyu’an seorang hamba Tuhan. Sehingga, akibat dari keyakinan tersebut muncul dampak-dampak empiric yang kemudian bias dilihat, sebut saja “ngelmu tahan tebas” dan semacamnya. Itulah Islam, corak yang muncul dari ilmu dan keyakinan dapat menjadi “kesenian” yang bisa menyambungkan manusia dengan Tuhan.
Do’a itu adalah jantungnya ibadah. Addu’a wasillatul mukmin. Do’a juga sebagai senjatanya orang mukmin, bukan sekedar muslim. Di dalam do’a, sesuatu yang tidak masuk akal jadi masuk akal. Mengenai keyakinan, di zaman ini orang beragama namun tidak beriman. Ia tidak berdo’a karena keyakinannya lemah. Berdo’a harus dengan keyakinan (termasuk dalam semua agama-agama). Padahal erat kaitannya antara do’a dan yang diyakini. Kualitas rohani atau keimanan mempengaruhi dikabulkannya do’a. bahkan tidak harus dengan do’a-pun, tapi melalui keyakinan (menyebut dalam hati), tuhan mendengar. Keimanan itu yaqin, Haqqul yakin.
 Tentang mengingat Allah SWT. Apakah kita semua telah yakin adanya Allah? Kebanyakan kita belum yakin adanya Allah (Wujud). Setiap waktu luang kita manfaatkan untuk mengingat Allah.  aat itu pulalah sebenarnya kita juga berdoa. Saat itu kita berusaha “memeluk” yang memelihara dan mengarahkan hidup. Maka berdzikirlah sebanyak-banyaknya. Wallahu a’lamu.
Sekali lagi, Pesantren Global Tarbiyatul Arifin hadir dan selalu berusaha menjadi wadah pengembangan intelektual dan refleksi realitas kehidupan, orientasinya tetap, yaitu pada mempekuat posisi hablun minallah.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites