Oleh: Abdur Rahim iDung
Hujan
diterjang. Segala cuaca tidak menjadi halangan. Santri-santri Pesantren Global asuhan
Ki Agus Sunyoto selalu menyempatkan diri untuk “ngaji” pada hari yang sudah
ditentukan, Selasa dan Jum’at. Pesantren yang bernamakan Tarbiyatul Arifin.
Kajian
rutinan yang diadakan di Pesantren Global menjadi wahana intelektual dan
refleksi kebangsan atas realitas ilmiah yang ada di alam sekitar manusia
(Indonesia) bagi para santri pesantren yang notabene adalah beberapa
mahasiswa dan masyarakat umum. Kajian yang dikenal dalam istilah komunitas
menggunakan nalar “post-hegemoni”.
Metode yang
digunakan dalam pengajian adalah metode “badongan” atau bandongan“ (tepatnya Neo-Badongan
atau Neo-Bandongan). Yaitu sistem transfer keilmuan atau proses
belajar mengajar yang ada di pesantren di mana guru (baca: kiai) membacakan dan
menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat
apa yang disampaikan oleh guru (kiai). Kelompok dari badongan neo-bandongan
ini disebut halaqah yang artinya sekelompok murid yang belajar dibawah
bimbingan seorang guru. Halaqoh yang diharapkan menjadi komunitas
produktif dan peka terhadap ilmu pengetahuan dan realitas global.
Catatan saya
(Jum’at, 02/01/2013) tentang subtansi do’a dan iman. Setelah lama saya tidak
mengikuti pengajian. Ki Agus menyampaikan bahwa do’a adalah sebuah keniscayaan
bagi seorang makhluk Tuhan. Karena dengan do’a-lah ia bisa lihat tingkat
keimanannya. Banyak orang (beragama) Islam tapi sedikit orang Mukmin.
Salah satu
contoh yang bisa dipetik dari sebuah ijazah (baca:kanuragan) yang digemari oleh
orang-orang dahulu, jika betul-betul dikerjakan muaranya ada pada taqorrub
ilallah, walaupun ada juga aliran yang tidak mengarah kesana. Rutinitas
yang dilakukan oleh orang-orang yang mengamalkan dzikir tersebut membawa mereka
pada keyakinan dan kekhusyu’an seorang hamba Tuhan. Sehingga, akibat
dari keyakinan tersebut muncul dampak-dampak empiric yang kemudian bias
dilihat, sebut saja “ngelmu tahan tebas” dan semacamnya. Itulah Islam,
corak yang muncul dari ilmu dan keyakinan dapat menjadi “kesenian” yang bisa
menyambungkan manusia dengan Tuhan.
Do’a itu
adalah jantungnya ibadah. Addu’a wasillatul mukmin. Do’a juga sebagai
senjatanya orang mukmin, bukan sekedar muslim. Di dalam do’a, sesuatu yang
tidak masuk akal jadi masuk akal. Mengenai keyakinan, di zaman ini orang
beragama namun tidak beriman. Ia tidak berdo’a karena keyakinannya lemah.
Berdo’a harus dengan keyakinan (termasuk dalam semua agama-agama). Padahal erat
kaitannya antara do’a dan yang diyakini. Kualitas rohani atau keimanan
mempengaruhi dikabulkannya do’a. bahkan tidak harus dengan do’a-pun, tapi
melalui keyakinan (menyebut dalam hati), tuhan mendengar. Keimanan itu yaqin, Haqqul
yakin.
Tentang mengingat Allah SWT. Apakah kita semua
telah yakin adanya Allah? Kebanyakan kita belum yakin adanya Allah (Wujud).
Setiap waktu luang kita manfaatkan untuk mengingat Allah. aat itu pulalah sebenarnya kita juga berdoa.
Saat itu kita berusaha “memeluk” yang memelihara dan mengarahkan hidup. Maka berdzikirlah
sebanyak-banyaknya. Wallahu a’lamu.
Sekali lagi,
Pesantren Global Tarbiyatul Arifin hadir dan selalu berusaha menjadi wadah pengembangan
intelektual dan refleksi realitas kehidupan, orientasinya tetap, yaitu pada
mempekuat posisi hablun minallah.