Kami mahasiswa-mahasiswi
Indonesia bersumpah, bertanah air satu,
tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia
bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia
bersumpah, berbahasa satu bahasa kejujuran
(Naskah Sumpah Mahasiswa)
Prawacana
Diskursus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok
bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir semua kalangan masyarakat. Dalam
konteks kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang
terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa
gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya
depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya
praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap
rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran (gerakan)
mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu
memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat
dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa.
Sudah 65 tahun kemerdekaan bangsa kita sejak proklamasi, pergantian
pemimpin sudah berulangkali terjadi, namun apakah kemerdekaan yang hakiki sudah
tercapai? Secara kasat mata kita masih banyak melihat sebagian rakyat kita
masih dalam kondisi menjerit dalam kelaparan, kemiskinan, penderitaan
berkepanjangan, kekurangan, itu semua bukan karena bencana alam atau mereka
malas bekerja. Siapa kemudian yang bias memperjuangkan nasib mereka? Kemanakah
para anak muda bangsa?
Mahasiswa; Siapa
Dia?
Sebagai sebuah konsep, pengertian tentang mahasiswa masih sering menjadi
perdebatan. Perdebatan itu timbul karena mahasiswa di dalam konsepsi dan
realitas kenyataannya masih dipandang dari satu aspek saja dari sekian
banyaknya kompleksitas pengertian dan realita kehidupan suatu golongan
masyarakat.
Dalam definisi pemerintah, PP nomor 30 tahun 1990 dijelaskan bahwa “mahasiswa
adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi
tertentu”. Dalam perspektif lain, mahasiswa juga dapat dikatakan “sebuah
komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang
dimilikinya”. Mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa
juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, atau
kelompok politik, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan
(seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah ruatu kebenaran
yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut. Menurut
Arief Budiman dalam bukunya yang berjudul “Mahasiswa Menggugat” mengatakan
bahwa mahasiswa adalah agent of social change (agent perubahan sosial)
dan director of change (pengarah perubahan) yang berpihak pada keadilan
sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
Secara singkat dan sederhana, mahasiswa dapat di bagi menjadi dua, yaitu;
Pertama, mahasiswa sebagai individu. Mahasiswa adalah individu yang
sedang melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka menempuh pendidikan di
perguruan tinggi. Tugas pokok mahasiswa adalah untuk mendapatkan
keahlian/ketrampilan berdasarkan suatu/sejumlah ilmu tertentu. Kedua,
Mahasiswa sebagai suatu kelompok. Kelompok mahasiswa adalah bagian dari unsur
masyarakat sipil, yaitu suatu masyarakat yang melingkupi kehidupan sosial
terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, otonom dari negara
dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Karena itu
ketika kita berbicara tentang mahasiswa maka sebenarnya yang kita bicarakan
adalah tentang gerakan mahasiswa. Mahasiswa sebagai suatu gerakan adalah suatu
kelompok masyarakat yang memiliki karakter kritis, independen, dan obyektif.
Impelmentasi dari hal ini diwujudkan dalam karakter gerakannya. Gerakan
mahasiswa biasanya dilakoni oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan di
tingkatan kampus maupun di luar kampus sebagai wujud dari peran mahasiswa
ditengah masyarakat. Gerakan mahasiswa memiliki prinsip sebagai gerakan moral
yaitu gerakan mahasiswa dibangun diatas nilai-nilai ketidakadilan atau
kesewenang-wenangan kekuasaan. Sebagai gerakan moral, mahasiswa melakukan
kontrol sosial terhadap pemerintah sebagai upaya artikulasi kepentingan
masyarakat atau sebagai penyambung lidah rakyat.
Sedangkan menurut tipologinya –mahasiswa yang ditinjau dari
perilaku-; pertama, mahasiswa hedonis yaitu mahasiswa yang
berbudaya hura-hura dan cenderung berfikir terbelakang karena mahasiswa
tersebut dilatarbelakangi dengan ekonomi yang mapan.
Kedua, mahasiswa normative-akademis. Yaitu mahasiswa yang dalam
kesehariannya hanya kuliah dan selalu mengejar nilai akademik. Mahasiswa yang
seperti ini biasanya sulit bergaul dengan lingkungan dan sosial. Kondisinya
terbentuk dali logika positivistik.
Ketiga, mahasiswa kritis. Yaitu individu atau mahasiswa yang
selalu berfikir kedepan terhadap kondisi sosial-global. Ia selalu merasa tidak
puas serta selalu “gelisah” dengan ketimpangan sosial. Model mahasiswa yang
demikian cenderung terbuka, kreatif dan mudah bergaul serta memiliki visi
perubahan yang besar untuk kemajuan dan kesejahteraan.
Ada apa
dengan sejarah Mahasiswa?
Dalam kilasan sejarah, Indonesia mencatat perjuangan mahasiswa dan pemuda
dalam memainkan peran memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa, sebelum masa kemerdekaan sampai era reformasi.
Gerakan ini diawali para tahun 1908, tepatnya Mei 20. Manifestasi gerakan nasionalisme yang dipelopori oleh dr.
Soetomo dan dr. Wahidin Sudiro Husodo dalam sebuah organisasi bernama Boedi
Oetomo yang kemudian disinyalir menjadi pelopor kebangkitan pemuda bangsa.
Gerakan ini adalah refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas
dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Dilanjut pada 28 Oktober 1928
para pemuda dan mahasiswa melakukan ikrar untuk mempersatukan bangsa dengan
slogan sumpah pemuda.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, yang diresmikn pada 17 Agustus 1945,
kita kenal dengan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia dan mengangkat Ir. H.
Soekarno sebagai presiden pertama RI. Sebelum prosesi proklamasi tersebut,
kejadian penculikan yang dilakukan oleh pemuda (mahasiswa) karena belum adanya
keputusan dari jepang. Artinya, jika tidak adanya rekayasa rengas dengklok yang
dilakukan oleh mahasiswa, maka proklamasi tidak akan terjadi pada saat itu
(baca: 17-08-1945).
Dalam proses pengembangan pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan
sosial, masa kepemimpinan soekarno, masih banyak kekurangan. Diantaranya adalah
dibidang ekonomi-politik yang menjadi titik berat program pemerintah. Hal ini
menjadi fokus utama pengamatan mahasiswa pada saat itu. Angkatan ’66 yang
terkenal dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang mempelopori
tentang persoalan tersebut serta menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa
secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat
kedaerahan, dampak dari gerakan ini kemudian muncullah tritura[2]
(tiga tuntutan rakyat) yang kemudian berbuntut pada lengsernya kekuasaan Soeakarno.
Kemudian, setelah pergantian rezim dari Soekarno (baca: Orla) pada rezim
berikutnya, Soeharto (baca: Orba), banyak sekali gerakana-gerakan yang
dilakukan oleh mahasiswa untuk menentang kebijakan pemerintah yang tidak sesuai
dengan keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Peristiwa Malari yang terjadi pada
tahun 1974, sehingga mahasiswa dilarang ikut andil dalam percaturan politik
praktis di dalam kampus. Gerakan mahasiswa masa ini sampai pada titik puncak
Mei 1998 dengan adanya tragedi semanggi dan lainnya yang kemudian pada
berakhirnya orde baru, rezim Soeharto.
Era reformasi sampai sekarang masih terus bergaung dimana mahasiswa terus
melakukan peran dan tugasnya mengemban amanat rakyat. Adanya pergantian
kepemimpinan sekaligus mengubah pola dan tatanan pemerintahan dan mahasiswa
selalu memantau kegiatan pemerintah dan menindak setiap kebijakan yang
merugikan rakyat.
1998, adalah situasi dimana Indonesia menjadi negara demokrasi. Kran-kran
politik dan demokrasi terus terbukadan mengalir deras.lebih elegan dan egaliter
bagi bangsanya. Lantas bagaimana kemudian?
Peran dan
Visi Kerakyatan; Menuai Tanggungjawab Kemanusiaan
Dalam posisi kran terbuka sebagai dampak dari reformasi 1998, mahasiswa
sebagai penerus keberlanjutan bangsa dan budaya yang adiluhung –dalam
hal ini penulis sebut dengan Guardian of Value- sesuai
dengan cita-cita kemerdekaan memiliki tugas berat. Diakui atau tidak,
“pekerjaan rumah” mahasiswa pasca reformasi masih banyak dan berat. Pasalnya,
gerakan yang dilakukan pada 1998 adalah gerakan penumbangan rezim
ketidak-adilan dan ketidakjujuran. Namun, pembangunan system pasca itu belum
terfikirkan secara tuntas oleh mahasiswa dikala itu.
Sekali lagi, dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama”. Artinya, urgensi atau peranan
mahasiswa dalam mewujudkan Negara Kesatuan tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Termasuk juga dalam peranan mempertahankan keseimbangan atas gejolak yang ada.
Mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama” dalam gerakan perubahan di Indonesia,
pasca Orde Baru.
Seiring dengan berjalannya waktu, sebagai Negara yang memiliki system
baru, Indonesia tidak pernah lepas dari konstelasi dunia (global). Dalam
sejarah Indonesia, banyak bukti yang menunjukkan bahwa Indonesia sering
dikendalikan oleh wacana “asing” yang (terkadang) berwatak imperialistik.
Bangsa Indonesia sering dijejali dan atau terpukau dengan wacana dari “luar”
yang (lagi-lagi terkadang) membuat Indonesia masuk dalam lingkaran hegemoni.
Lebih lanjut lagi, persoalan ini memang bukan sekedar dikotomi antara “Barat”
dan “Timur”, yang berwatak dangkal dan picik. Akan tetapi, adalah persoalan
bahwa wacana tersebut yang (kebetulan) berasal dari “Barat” itu sering berefek
menjajah atau menelikung. Indonesia lantas tidak sekedar masuk dalam lingkaran
wacana (Barat) yang menggerus dirinya. Akan tetapi, juga masuk dalam cengkraman
imperialisme global yang sangat hegemonik. Indonesia dijajah dan dikendalikan,
misalnya dari aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi, kebudayaan dan
seterusnya.
Kembali pada pokok
persoalan, posisi dan peran apa dan yang mana dari mahasiswa dan pemuda yang
harus didekonstruksi. Posisi yang dimainkan oleh orang muda dan mahasiswa
dapat berarti negatif, semisal menjadi pelayan penguasa, broker politik,
pragmatis, organisasi “dijual” demi sejumlah uang tertentu. Demikian
juga dengan peran mahasiswa dapat juga bermakna negatif. Mahasiswa yang
“membisu” dengan masalah Aids, pemiskinan, penindasan, dan lainnya sekitar
lingkungannya adalah mahasiswa yang berperan melanggengkan masalah sosial
tersebut menggurita.
Posisi Mahasiswa tidak
harus berada di depan perjuangan warga masyarakat, posisi mahasiswa adalah
posisi yang sederajat atau yang disebut “egalitarian”, acapkali ini kurang
disadari mahasiswa, lantaran bersemangat, maunya selalu di depan. Tidak.
Habermas mengatakan “Ketika
menginginkan wujud nyata kepedulian ilmu pengetahuan terhadap kemasyarakatan
jika pada masa klasik dan modern ilmu pengetahuan diharuskan bebas dari
kepentingan maka sudah saatnya ilmu pengetahuan berpihak pada kemanusiaan.”
Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa
(seharusnya) mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam
terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi
perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh
gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol
atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi
dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi
kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu
penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena begitu
berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia
telah mencatat bahwa social change (perubahan sosial) yang terjadi
hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya perlawanan mahasiswa.
Maka dari itu, sebagai mahasiswa yang memilih untuk memiliki “nilai plus”
katakanlah dengan teriakan lantang. “Saya adalah anak bangsa. Kejujuran,
Tanpa penindasan, dan keadilan adalah jalan surga.” Wallahu a’lam.