Rabu, 05 Desember 2012

MAHASISWA; Siapa, Ada Apa, dan Harus Bagaimana?


Oleh Abdur Rahim[1]

Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia  bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa kejujuran
(Naskah Sumpah Mahasiswa)
Prawacana
Diskursus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir semua kalangan masyarakat. Dalam konteks kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran (gerakan) mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa.
Sudah 65 tahun kemerdekaan bangsa kita sejak proklamasi, pergantian pemimpin sudah berulangkali terjadi, namun apakah kemerdekaan yang hakiki sudah tercapai? Secara kasat mata kita masih banyak melihat sebagian rakyat kita masih dalam kondisi menjerit dalam kelaparan, kemiskinan, penderitaan berkepanjangan, kekurangan, itu semua bukan karena bencana alam atau mereka malas bekerja. Siapa kemudian yang bias memperjuangkan nasib mereka? Kemanakah para anak muda bangsa?
Mahasiswa; Siapa Dia?
Sebagai sebuah konsep, pengertian tentang mahasiswa masih sering menjadi perdebatan. Perdebatan itu timbul karena mahasiswa di dalam konsepsi dan realitas kenyataannya masih dipandang dari satu aspek saja dari sekian banyaknya kompleksitas pengertian dan realita kehidupan suatu golongan masyarakat.
Dalam definisi pemerintah, PP nomor 30 tahun 1990 dijelaskan bahwa “mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu”. Dalam perspektif lain, mahasiswa juga dapat dikatakan “sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya”. Mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, atau kelompok politik, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah ruatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut. Menurut Arief Budiman dalam bukunya yang berjudul “Mahasiswa Menggugat” mengatakan bahwa mahasiswa adalah agent of social change (agent perubahan sosial) dan director of change (pengarah perubahan) yang berpihak pada keadilan sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
Secara singkat dan sederhana, mahasiswa dapat di bagi menjadi dua, yaitu; Pertama, mahasiswa sebagai individu. Mahasiswa adalah individu yang sedang melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tugas pokok mahasiswa adalah untuk mendapatkan keahlian/ketrampilan berdasarkan suatu/sejumlah ilmu tertentu. Kedua, Mahasiswa sebagai suatu kelompok. Kelompok mahasiswa adalah bagian dari unsur masyarakat sipil, yaitu suatu masyarakat yang melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, otonom dari negara dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Karena itu ketika kita berbicara tentang mahasiswa maka sebenarnya yang kita bicarakan adalah tentang gerakan mahasiswa. Mahasiswa sebagai suatu gerakan adalah suatu kelompok masyarakat yang memiliki karakter kritis, independen, dan obyektif. Impelmentasi dari hal ini diwujudkan dalam karakter gerakannya. Gerakan mahasiswa biasanya dilakoni oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan di tingkatan kampus maupun di luar kampus sebagai wujud dari peran mahasiswa ditengah masyarakat. Gerakan mahasiswa memiliki prinsip sebagai gerakan moral yaitu gerakan mahasiswa dibangun diatas nilai-nilai ketidakadilan atau kesewenang-wenangan kekuasaan. Sebagai gerakan moral, mahasiswa melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah sebagai upaya artikulasi kepentingan masyarakat atau sebagai penyambung lidah rakyat.
Sedangkan menurut tipologinya mahasiswa yang ditinjau dari perilaku-; pertama, mahasiswa hedonis yaitu mahasiswa yang berbudaya hura-hura dan cenderung berfikir terbelakang karena mahasiswa tersebut dilatarbelakangi dengan ekonomi yang mapan.
Kedua, mahasiswa normative-akademis. Yaitu mahasiswa yang dalam kesehariannya hanya kuliah dan selalu mengejar nilai akademik. Mahasiswa yang seperti ini biasanya sulit bergaul dengan lingkungan dan sosial. Kondisinya terbentuk dali logika positivistik.
Ketiga, mahasiswa kritis. Yaitu individu atau mahasiswa yang selalu berfikir kedepan terhadap kondisi sosial-global. Ia selalu merasa tidak puas serta selalu “gelisah” dengan ketimpangan sosial. Model mahasiswa yang demikian cenderung terbuka, kreatif dan mudah bergaul serta memiliki visi perubahan yang besar untuk kemajuan dan kesejahteraan.
Ada apa dengan sejarah Mahasiswa?
Dalam kilasan sejarah, Indonesia mencatat perjuangan mahasiswa dan pemuda dalam memainkan peran memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa, sebelum masa  kemerdekaan sampai era reformasi.
Gerakan ini diawali para tahun 1908, tepatnya Mei 20. Manifestasi  gerakan nasionalisme yang dipelopori oleh dr. Soetomo dan dr. Wahidin Sudiro Husodo dalam sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo yang kemudian disinyalir menjadi pelopor kebangkitan pemuda bangsa. Gerakan ini adalah refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Dilanjut pada 28 Oktober 1928 para pemuda dan mahasiswa melakukan ikrar untuk mempersatukan bangsa dengan slogan sumpah pemuda.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, yang diresmikn pada 17 Agustus 1945, kita kenal dengan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia dan mengangkat Ir. H. Soekarno sebagai presiden pertama RI. Sebelum prosesi proklamasi tersebut, kejadian penculikan yang dilakukan oleh pemuda (mahasiswa) karena belum adanya keputusan dari jepang. Artinya, jika tidak adanya rekayasa rengas dengklok yang dilakukan oleh mahasiswa, maka proklamasi tidak akan terjadi pada saat itu (baca: 17-08-1945).
Dalam proses pengembangan pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan sosial, masa kepemimpinan soekarno, masih banyak kekurangan. Diantaranya adalah dibidang ekonomi-politik yang menjadi titik berat program pemerintah. Hal ini menjadi fokus utama pengamatan mahasiswa pada saat itu. Angkatan ’66 yang terkenal dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang mempelopori tentang persoalan tersebut serta menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan, dampak dari gerakan ini kemudian muncullah tritura[2] (tiga tuntutan rakyat) yang kemudian berbuntut pada lengsernya kekuasaan Soeakarno.
Kemudian, setelah pergantian rezim dari Soekarno (baca: Orla) pada rezim berikutnya, Soeharto (baca: Orba), banyak sekali gerakana-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menentang kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974, sehingga mahasiswa dilarang ikut andil dalam percaturan politik praktis di dalam kampus. Gerakan mahasiswa masa ini sampai pada titik puncak Mei 1998 dengan adanya tragedi semanggi dan lainnya yang kemudian pada berakhirnya orde baru, rezim Soeharto.
Era reformasi sampai sekarang masih terus bergaung dimana mahasiswa terus melakukan peran dan tugasnya mengemban amanat rakyat. Adanya pergantian kepemimpinan sekaligus mengubah pola dan tatanan pemerintahan dan mahasiswa selalu memantau kegiatan pemerintah dan menindak setiap kebijakan yang merugikan rakyat.
1998, adalah situasi dimana Indonesia menjadi negara demokrasi. Kran-kran politik dan demokrasi terus terbukadan mengalir deras.lebih elegan dan egaliter bagi bangsanya. Lantas bagaimana kemudian?
Peran dan Visi Kerakyatan; Menuai Tanggungjawab Kemanusiaan
Dalam posisi kran terbuka sebagai dampak dari reformasi 1998, mahasiswa sebagai penerus keberlanjutan bangsa dan budaya yang adiluhung –dalam hal ini penulis sebut dengan Guardian of Value- sesuai dengan cita-cita kemerdekaan memiliki tugas berat. Diakui atau tidak, “pekerjaan rumah” mahasiswa pasca reformasi masih banyak dan berat. Pasalnya, gerakan yang dilakukan pada 1998 adalah gerakan penumbangan rezim ketidak-adilan dan ketidakjujuran. Namun, pembangunan system pasca itu belum terfikirkan secara tuntas oleh mahasiswa dikala itu.
Sekali lagi, dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama”. Artinya, urgensi atau peranan mahasiswa dalam mewujudkan Negara Kesatuan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Termasuk juga dalam peranan mempertahankan keseimbangan atas gejolak yang ada. Mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama” dalam gerakan perubahan di Indonesia, pasca Orde Baru.
Seiring dengan berjalannya waktu, sebagai Negara yang memiliki system baru, Indonesia tidak pernah lepas dari konstelasi dunia (global). Dalam sejarah Indonesia, banyak bukti yang menunjukkan bahwa Indonesia sering dikendalikan oleh wacana “asing” yang (terkadang) berwatak imperialistik. Bangsa Indonesia sering dijejali dan atau terpukau dengan wacana dari “luar” yang (lagi-lagi terkadang) membuat Indonesia masuk dalam lingkaran hegemoni. Lebih lanjut lagi, persoalan ini memang bukan sekedar dikotomi antara “Barat” dan “Timur”, yang berwatak dangkal dan picik. Akan tetapi, adalah persoalan bahwa wacana tersebut yang (kebetulan) berasal dari “Barat” itu sering berefek menjajah atau menelikung. Indonesia lantas tidak sekedar masuk dalam lingkaran wacana (Barat) yang menggerus dirinya. Akan tetapi, juga masuk dalam cengkraman imperialisme global yang sangat hegemonik. Indonesia dijajah dan dikendalikan, misalnya dari aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi, kebudayaan dan seterusnya.
Kembali pada pokok persoalan, posisi dan peran apa dan yang mana dari mahasiswa dan pemuda yang harus didekonstruksi.  Posisi yang dimainkan oleh orang muda dan mahasiswa dapat berarti negatif, semisal menjadi pelayan penguasa, broker politik, pragmatis,  organisasi “dijual” demi sejumlah uang tertentu. Demikian juga dengan peran mahasiswa dapat juga bermakna negatif. Mahasiswa yang “membisu” dengan masalah Aids, pemiskinan, penindasan, dan lainnya sekitar lingkungannya adalah mahasiswa yang berperan melanggengkan masalah sosial tersebut menggurita.
Posisi Mahasiswa tidak harus berada di depan perjuangan warga masyarakat, posisi mahasiswa adalah posisi yang sederajat atau yang disebut “egalitarian”, acapkali ini kurang disadari mahasiswa, lantaran bersemangat, maunya selalu di depan. Tidak.
Habermas mengatakan “Ketika menginginkan wujud nyata kepedulian ilmu pengetahuan terhadap kemasyarakatan jika pada masa klasik dan modern ilmu pengetahuan diharuskan bebas dari kepentingan maka sudah saatnya ilmu pengetahuan berpihak pada kemanusiaan.”
Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa (seharusnya) mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat bahwa social change (perubahan sosial) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya perlawanan mahasiswa.
Maka dari itu, sebagai mahasiswa yang memilih untuk memiliki “nilai plus” katakanlah dengan teriakan lantang. “Saya adalah anak bangsa. Kejujuran, Tanpa penindasan, dan keadilan adalah jalan surga.” Wallahu a’lam.



[1] Pemuda Desa Selok Anyar dan Santri Sarifuddin Wonorejo Lumajang
[2] Adapun isi Tritura tersebut adalah, 1) Turunkan harga sembako; 2) bubarkan PKI; 3) Perombakan Kabinet Dwi Kora.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites