Selasa, 29 Maret 2011

ILMU NAHWU DAN ILMU SHORF (Pengantar Wacana Kajian Ushul Nahwu)*



Oleh Abdur Rahim **

A.  Pengertian Ilmu Nahwu dan Ilmu Shorf
Ta’rif Ilmu Nahwu menurut bahasa adalah contoh. Ta’rif ini menunjukkan bahwa dalam ilmu ini memuat banyak contoh yang diperlukan untuk dapat memahami suatu kaidah dan orang yang menguasai suatu kaidah dalam Ilmu Nahwu adalah orang yang mampu membuat contoh dari kaidah tersebut. Adapun Ta’rif Ilmu nahwu menurut istilah adalah “Sebuah Ilmu yang terdiri dari kaidah-kaidah umum yang dapat diketahui dengannya keadaan akhir kalimat Bahasa Arab dari segi i’rab dan Bina”.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang aturan akhir struktur kalimah (kata) apakah berbentuk rafa’, nashab, jar, atau Jazm.
Ilmu Sharf adalah ilmu yang membahaskan tentang shighah (bentuk) kalimah Arab dan hal ihwalnya dari mulai huruf asli, tambahan, shohih, sampai kepada ‘illat-nya. Sederhanya ilmu Sharf adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk tata kata      (Morfologi) di dalam bahasa Arab.
B.  Sejarah Perkembangan Ilmu Nahwu dan Shorf
Dorongan utama dari penyusunan Ilmu Nahwu ini adalah semata-mata untuk membentengi bahasa Arab dari kesalahan-ungkap (lahn) yang pada masa itu mulai menular serta merusak “edisi” Arab fusha.  
Dengan dilema yang ada, maka para ulama merasa khawatir atas keotentikan bahasa Arab yang akan berimplikasi pada pengkontaminasian cara membaca dan memahami al-Qur’an. Keprihatinan ini amatlah wajar sebab, sebelum bahasa Arab terjangkit lahn, masyarakat Arab sendiri sudah mendapat masalah internal dalam ketatabahasaan: mereka terbagi ke dalam klan (suku) yang bermacam-macam, tiap klan memiliki bahasa yang berbeda-beda antara satu dan yang lain. Upaya menyatukan bahasa menduduki urutan penting pertama sebelum memerangi virus lahn yang datang setelah agenda penaklukan (Arab: al-futûhât).
Atas perintah Khalifah Ali ibn Abi Thalib, Abu al-Aswad al-Duali (Nama lengkapnya: Dhalim ibn ‘Amru ibn Sofyan ibn Hambal ibn Jundl ibn Sulaiman ibn Hils al-Duali al-Kinnani (1 SH-69 H/605-688 M) berjuang untuk menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa Arab yang akan menjadi rujukan di kala terjadi kesalahan-ungkap tersebut.
Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa di sana banyak sekali pendapat yang menguatkan keabsahannya sebagai pioner Ilmu Nahwu (Arab: wâdhi`-u `Ilm al-Nahw-i) itu sendiri, seperti disinggung dengan bagus oleh Ahmad Amien, bahwa Ibn Qutaybah dalam kitab al-Ma’ârif mengafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang: “Yang pertamakali meletakkan dasar pondasi Nahwu”, Ibn Hajar pun dalam kitab Fî al-Ishâbah mengutarakan hal yang senada: “Orang yang pertamakali memberikan “titik” di mushaf dan meletakkan pondasi Nahwu adalah Abu al-Aswad.
Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu: Nashr ibn Ashim al-Laitsi (Wafat 89 H) dan Yahya ibn Ya’mur (Wafat 129 H) langsung siagap mengambil tongkat estafeta gurunya dalam mempelopori perkembangan bahasa Arab dari masa ke masa. Selang beberapa tahun kemudian, setelah kematian murid-murid Abu al-Aswad, munculah seorang ulama popular yang karya agungnya menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu: Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Estafeta Khalil ini melahirkan murid brilian, Sibawaehi, dengan karya besarnya: “al-Kitâb”.
Seperti amatan Ahmad Amien, dalam kitab al-Zubaidi Mukhtasar Kitâb al-`Ain misalnya, menyebut al-Kitâb karya Sibawaehi telah melumpuhkan kitab-kitab Nahwu sebelumnya dan mematahkan kitab-kitab Nahwu yang datang setelahnya. Ini adalah isyarat bahwa peran Sibawaehi sudah melampaui gurunya sendiri. Dalam mempelajari ilmu tata Bahasa Arab, prioritas yang harus diutamakan adalah Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharf sebagaimana kata sebagian ulama: إعلم أن  الصرف أم العلوم والنحو أبوها (Ilmu Sharf diasumsikan induk segala ilmu, sebab ilmu inilah yang dapat melahirkan semua bentuk kalimat, sedangkan kalimat-kalimat itu menjadi petunjuk segala ilmu. Adapun Ilmu Nahwu diasumsikan sebagai bapaknya karena ilmu inilah yang mengatur susunan kalimat tersebut).
Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik(ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama (sebagai spesialisasi Linguistik bahasa Arab). Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai sekarang. Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu.
Sejarah perkembangan Sharf sama dengan perkembangan ilmu nahwu, karena difahaminya ilmu nahwu menurut ulama-ulama terdahulu itu mengandung semua kaidah yang berkenaan dengan akhir kalimat dan bentuk-bentuknya. Jadi kedua ilmu ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena mereka mempunyai satu objek kajian yang sama, yaitu lafadz atau kata bahasa arab.
C.  Objek Kajian Ilmu Nahwu dan ilmu Shorf
Kedua ilmu ini sebenarnya memiliki objek kajian yang sama, yaitu kata dalam bahasa arab, tetapi Kajian ilmu nahwu selama ini lebih menitikberatkan pada persoalan kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk jabatan satu kata dalam kalimat. Dapat juga dikatakan bahwa pelajaran nahwu lebih fokus untuk mengetahui bagaimana bentuk akhir sebuah kata, i`râb ataukah mabni. Misalnya, menentukan apakah kata itu termasuk kategori marfû`ât, mansûbât, ataukah majrûrât untuk kata-kata yang berbentuk ism, atau kata tersebut masuk kategori marfû`at, mansûbat, ataukah majzûmat untuk kata-kata yang berbentuk fi`il. Maka pelajaran nahwu selama ini lebih kepada membicarakan harakat akhir sebuah kata dan kemudian menjelaskan sebab-sebab dan ilalnya.
Jika kajian ilmu nahwu lebih menitikberatkan pada persoalan kaidah-kaidah yang berlaku pada suatu kata dalam kalimat, maka kajian ilmu shorf lebih menitikberatkan pada pengetahuan tentang perubahan kata-kata dari satu bentuk ke bentuk yang lain sebelum masuk pada suatu kalimat. Misalkan membahas tentang wazn (timbangan kata), sighah (jenis kata) dan lain sebagainya.
Objek kajian dalam ilmu Sharf ini adalah lafadz-lafadz Arab dari bermacam-macam bentuk, seperti: والإدغام و نحوها صحة و الإعلال والاصالحة والزيادة واالحدف والإمالة.
Seperti juga ilmu Fiqh yang selalu diminati oleh orang-orang untuk dipelajarinya, maka ilmu Nahwu ini juga memiliki juga menarik banyak orang untuk mempelajarinya, sehingga menimbulkan madzhab-madzhab yang mempunyai berbagai pendapat.
Madzhab-madzhab itu adalah:
1.    Madzhab Basrah
Madzhab Basrah atau madrasah Bashrah adalah madzhab yang dirintis oleh ‘Anbasah, salah seorang yang disebut-sebut oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sebagai murid dan sahabat (ashbahi) Abu al-Aswad yang paling cerdas. Perkembangan madzhab ini dapat dibagi pada dua fase.
Fase pertama diwarnai dengan ulama-ulama nahwu yang sangat memahami tentang seluk-beluk ilmu nahwu dan sangat mahir dalam bahasa Arab, diantara ulama-ulama tersebut adalah:
a.    Nashr bin ‘Ashim al-Laitsiy dan Yahya bin Ya’mur
Mereka berdua memiliki jasa besar dalam kemajuan bahasa Arab didunia ini, yaitu dengan kreasi titik huruf-huruf  baik satu atau dobel (dua), untuk membedakan huruf-huruf yang mirip, seperti ba, ya, dan nun. Mereka melakukan hal tersebut atas perintah al-Hajjaj bin Khathib, pada mushhaf utsmani. Mereka pula yang merubah susunan abjad Arab sehingga seperti sekarang ini. Lalu mereka menggantikan titik-titik yang digunakan Abu al-Aswad digantikan dengan titik yang kita kenal sekarang yang dulunya hanya dengan alif (untuk bunyi fathah), wawu (untuk bunyi dhamah) dan ya (untuk bunyi kasrah). Abu al-Aswad memberi titik pada kata (kalimat), hanya untuk membedakan tiap akhir kata (baca: mengi’rabi). Sedang mereka memberi titik pada kata, tujuanya adalah untuk membedakan tiap huruf bagi orang ‘Ajam (non-Arab), yang mana ketika itu masih sering terbalik antara satu huruf dengan yang lainnya yang terdapat kemiripan.
Fase kedua, pada fase ini diwarnai dengan pengembangan-pengembangan ilmu nahwu yang telah ada. Diantara ulama-ulamanya adalah
b.   Abu Amr bin al-‘Ala dan Abudullah bin Ishaq al-Hadhramiy.
Ia adalah salah seorang ahli qiraat sab’ah. Abu Ubaidah mengomentari dirinya:”Ia merupakan orang yang paling pintar dalam qiraat, bahasa Arab, fase-fase (sejarah) orang-orang Arab, dan sya’ir. Ia memiliki buku banyak, hingga menumpuk sampai langit-langit rumahnya. Sedang Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhramiy adalah ulama nahwu yang sezaman dengan Abu Amr. Abu Amr lebih diunggulkan dalam bidang bahasa, sedang Abu Ishaq lebih diunggulkan  dalam bidang nahwu. Abu ishaq merupakan orang yang paling pintar dan cerdas di Bashrah. Ia adalah orang yang mengklasifikasikan pembahasan nahwu dan membuat kias. Dikatakan bahwa ia (Abu Umar) adalah ulama yang pertama membuat menta’lil nahwu.
c.    Khalil bin Ahmad
Merupakan puncaknya dalam penggalian masalah-masalah nahwu dan mensahkan penggunaan kias dalam nahwu. Ia merupakan orang yang meletakan kaidah-kaidah arudh (wazan syi’ir Arab klasik). Ia mengarang sebuah kitab yang sangat terkenal kitab al-‘Ain yang membuat batasan-batasan bahasa Arab. Ia merupakan guru Sibawaih.
d.   Dan masih banyak ulama-ulama lain yang berjasa dalam perkembangan ilmu nahwu.
Para ulama Bashrah memiliki tradisi kunjungan ke qabilah-qabilah Arab yang tinggal di pedalam-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari penutur aslinya. Mereka beranggapan bahwa bahasa Arab yang asli hanyalah ada di sana. Karena qabilah di pedalaman belum banyak berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar, jadi bahasanya pun masih asli terjaga.
2.    Madzhab Khufah
Madzhab Kufah adalah madzhab nahwu yang dirintis oleh Abu Ja’far al-Ruasiy. Ia merupakan ulama Kufah yang pertama menyusun kitab tentang (ketata) bahasa Arab-an,yaitu kitab al-Faishal. Suatu ketika ia memperlihatkan kitab yang dikarangnya kepada Khalil (salah satu ulama yang terkenal di kota Basrah). Setelah itu Khalil berkomentar: “Semua isi kitab Sibawaih, itulah yang diungkapkan oleh orang Kufah”. Maksud Khalil adalah al-Ruasiy ini. Sekelompok ulama Bashrah menganggap bahwa orang Kufah yang disebut-sebut al-Akhfash di akhir pembahasannya, yang kemudian menjadi rujukannya ialah al-Ruasiy. Dilihat dari karya-karyanya, seperti Kitab al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam’, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Qur’an, ia dinggap sebagai salah seorang ulama Kufah yang ahli qiraat.
Sekembalinya ke  Kufah,  ia  menemui  pamannya Mu’adz bin Muslim al-Hira, seorang ulama yang dijadikan rujukan dalam bidang bahasa Arab. Ia kemudian memfokuskan pada kajian sharaf serta permasalahan-permasalahannya secara khusus. Selanjutnya berdatanganlah orang-orang Kufah yang belajar padanya/mencatat pemikirannya untuk dikoreksi olehnya. Sehingga konon katanya, mereka lebih unggul dari ulama Bashrah dalam bidang itu (sharaf). Dari sana, sebagian ulama menganggap al-Ruasiy sebagai peletak pertama ilmu sharaf. Karena dari tangannyalah, muncul dua muridnya yang terkenal yaitu al-Kisaiy dan al-Farra.
Namun Syauqiy Dhaif berpendapat bahwa perintis madzhab Kufah adalah al-Kisaiy dan muridnya al-Farra. Karena mereka berdualah yang telah merumuskan pondasi ilmu nahwu. Sehingga ilmu nahwu yang berkembang di Kufah berbeda dengan yang Bashrah.
Ada beberapa perbedaan antara madzhab Basrah dan Kufah ini, yaitu:
1.    Para ulama Basrah dalam periwayatan bahasa (sima) dari orang Arab badwi, lebih kuat sanad-sanadnya walau tidak banyak. Sedang ulama Kufah sangatlah lemah, kendati lebih banyak meriwayatkan. Begitulah Khatib al-bagdadiy  memberikan gambaran perbedaan antara kedua madzhab tersebut.
2.    Para ulama Kufah sangat berbeda dengan ulama Basrah. Mereka kurang begitu ahli dalam mengunakan manthiq. Sehingga mereka banyak membuat kesalahan dalam membuat kaidah-kaidah nahwu. Mereka sering menjadikan kalimat-kalimat yang syadz dan jarang sebagai kaidah. Hal ini akan menyulitkan pada pembelajaran nahwu, karena terlalu banyak kaidah yang harus dipakai.
3.    Madzhab Andalusia
Madzhab ini didirikan oleh adalah Abu Ali al-Qali.  Namun sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Amin, semua ahli nahwu semenjak Abu Ali al-Qali, masih bertaqlid pada nahwu Sibawaih. Kendati ada beberapa ulama seperti Ibnu Malik dan Abu Hayyan, mereka hanya beriajtihad madzhab -kalau dalam istilah fiqih-, tidak berijtihad muthlaq. Karena memang Khalil bin Ahmad al-Farahidi beserta muridnya Sibawaih telah meletakkan pondasi nahwu dengan pilar-pilarnya yang kokoh, yang sulit digoyahkan pula ditumbangkan.
Tetapi ada seorang ulama Andalusia yang mencoba menggoyangkan pondasi Khalil dan Sibawaih tersebut. Ia bernama Ibnu Madha al-Qurthubiy. Ia berijtihad dengan mutlak dalam bidang nahwu.  Ia hidup pada masa dinasti al-muwahhidun.
Menurut Dr. Syauqi Dhaif, masa ini adalah masa ketika dikarangnya kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat. Masa ketika maghrib (Andalusia) memberontakan/revolusi masyriq (Bagdad), dalam segala hal, seperti fiqih dan cabang-cabangnya. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya. Begitulah kata Dhaif.
Langkah ini diikuti oleh Ibnu Madha al-Qurthubiy dengan mengarang kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat, dengan maksud untuk mengembalikan nahwu Masyriq ke tempatnya. Atau denga kata lain, ia hendak menolak beberapa pokok bahasan nahwu Masyriq dan memurnikannya dari cabang-cabang dan ta’wil sudah usang.
Ibnu Madha hendak merobohkan madzhab Sibawaih. Ia mengarang tiga buah kitab, yaitu al-musyriq fi al-nahw, tanzih al-Qur’an ‘amma la yaliqu bil bayan, dan al-Radd ‘ala al-Nuhat. Ketiga kitab tersebut berisi bantahan atas nahwu Sibawaih beserta para pendukungnya, serta menganjurkan untuk membentuk nahwu baru.
4.    Madzhab Mesir
Dalam pembahasan Madzhab Mesir ada yang disebut dengan Tobaqoh Ulama Nahwu Mesir dalam kitab "tobaqot an-nahwiyyin al-Misriyyin" karya Abu bakar az-zubaidi ada bab khusus tentang tobaqot ulama nahwu Mesir. Berikut adalah beberapa petikannya;

a.       Tobaqoh pertama
1)      Wilad at-Tamimi al-Mashodiri atau nama aslinya Walid bin Muhammad at-Tamimi al-Mashodiri. Berasal dari Basroh kemudian menetap di Mesir dan meninggal di bulan Rojab tahun 263 H.
2)      Mahmud ibnu Hasan. Nama aslinya Abu Abdillah Mahmud bin Hasan. Seorang ahli nahwu Mesir dan meninggal pada bulan Rojab tahun 272 H.
3)      Abu Hasan al-A'izzu. Belajar pada Ali bin Hamzah al-Kasa`I dan akhirnya menjadi ahli nahwu yang banyak dijadikan rujukan bagi orang-orang Andalus yang belajar padanya pada tahun 227 H.

b.       Tobaqoh kedua
1)      Abu Ali Ahmad bin Ja'far, berasal dari Dainuri sehingga sering menjadi nama panggilannya. Beliau belajar nahwu di Basroh kepada al-Mazani dan mempelajari kitabnya Sibaweh di Baghdad dengan Abi Abbas kemudian kembali ke Mesir setelah menikahi putri gurunya.
2)      Ibnu Mazro', nama lengkapnya adalah Abu Abdillah dan Abu bakar Yamut bin Mazro' bin Musa bin Sayyar al'abqoai. Berasal dari Basroh dan belajar di Baghdad dengan beberapa ulama, seperti; Mazani, Abi Khatim as-Sajistani, Riyasyi, Abdurrahman ibnu akhi Ashmu'i, Rofi' bin salamah, Amru bin bahr al-Jahith (pamannya). Ibnu Mazro' meninggal di thobariyah tahun 304H. pendapat lain mengatakan dia meninggal di Damsiq.
3)      Abu husain muhammad bin walid bin wulad at-tamimi. Berasal dari Basroh kemudian bersama ayahnya pindah ke Mesir. Beliau belajar nahwu dengan para ulama Mesir, seperti ; Abi Ali addainuri, Mahmud bin hasan dan ulama lainnya. Setelah itu Abu Husain pergi ke Irak dan bermukim di sana selama delapan tahun untuk memperdalam ilmu nahwu. Kitabnya yang terkenal dalam ilmu nahwu al-munmiq. Beliau wafat tahun 298 H dalam usia kelima puluh.

c.       Tobaqoh ketiga
1)      Abu hasan Ali bin hasan al-hana`I al-uzdi. Berasal dari Oman dan pindah ke Mesir bersama keluarganya. Beliau belajar dari para ulama di Baghdad baik dari kubu Basroh maupun Kuffah. Tapi, beliau lebih cenderung kepada pendapat Basroh meskipun dalam karya-karyanya beliau berusaha untuk memaparkan kedua-duanya dengan adil. Sehingga beliau sering diberi julukan Kuro' An-Naml. Adapun beberapa tulisan-tulisan pentingnya dalam bahasa adalah: al-mundid fi al-lughoh, al-mujarod fi lughoh wa mukhtasoruhu, almujhid fi-llughoh wa mukhtasoruhu, amtsilah ghorib al-lughoh, mushaf al-munadhom. Beliau wafat di Mesir pada tahun 310 H.
2)      Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Walid bin Muhammad at-tamimi. Belajar dengan ulama nahwu di Baghdad seperti Aba Ishaq bin Sirri az-zujaj dan yang lainnya. Abu Abbas Ahmad terkenal sangat bagus menurut Abu bakar Azzubaidi dalam kiasnya ketika berbicara tentang I'lal pada huruf wawu. Beliau wafat di Mesir pada tahun 332 H.
3)      Abu Qosim Abdullah bin Muhamad bin Walid bin Muhamad Attamimi
4)      Abu ja'far ahmad bin Muhamad bin Ismail bin Yunus. Terkenal dengan nama Abu ja'far Annahas.
5)      Abu Nasr Muhamad bin Ishaq bin asbath Alkindy.
6)      Ali bin Hasan bin Muhamad bin Yahya terkenal dengan nama Allan.
d.      Tobaqoh keempat
1)      Abu Bakar Muhamad bin Ali bin Muhamad al-Idfawi, dari salah satu perkampungan di Mesir.
2)       Abu Hasan Ali bin Ibrahim bin Said bin Yusuf alkhoufi dinisbatkan pada khof bilbis dari propinsi Syarqiyah dan nama desanya sering disebut dengan Syubro Nahlah.
3)      Abu Hasan Thohir bin Ahmad bin Babsyadz (dari kata Persi yang bermakna senang dan bahagia) bin Dawud bin Sulaiman bin Ibrahim. Menurut riwayat beliau berasal dari Dailim dan dulu kakek dan ayahnya adalah seorang pedagang yang datang ke Mesir.
4)       Abu Abdullah Muhamad bin Barokat bin Hilal bin Abdul Wahid As-saidi.

e.       Tobaqoh Kelima: Zaman Ayubiyah:
1)      Tajuddin Abu Fathi Ustman bin Isa bin Mansur bin Muhamad al-Bulthi berasal dari Musol.
2)      Abu Abdulghoni Taqiyuddin Sulaiman bin Banin bin Kholaf Ad-daqiqi.
3)      Abu Husain Zainuddin Yahya bin Abdulmu'thi bin Abdunnur Az-zawawi.
4)      Abulhusain Ali bin Abdussomad bin Muhamad bin Mufarroj dan dikenal dengan Ibnu ar-Rimah.
5)      Abulhasan Ilmuddin Ali bin Muhamad bin Abdussomad bin Abdul Ahad bin Abdul gholib Al-hamadani As-sakhowi.
6)      Abu Amru Jamaluddin Utsman bin Umar bin Bakar bin Yunus Ad-darini.

f.        Tobaqoh Keenam: Masa Mamalik;
1)      Abu Abdillah Bahauddin Muhamad bin Ibrahim bin Muhamad bin Abi Nasr ibnu an-Nahas.
2)      Asiruddin Muhamad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan.
3)      Abu Ali Badruddin Hasan bin Qosim bin Abdillah bin Ali Almurodi dikenal dengan Ibnu Ummu Qosim yaitu dinisbatkan pada neneknya dari ibu bapaknya yang bernama Zakhro'.
4)       Abu Muhamad Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Hisam Al-Ansori.
5)      Bahauddin Abdullah bin Abdirrohman bin Abdullah bin Muhamad bin Muhamad bin Aqil. Berasal dari Hamadan.
6)      Syamsuddin Muhamad bin Abdurrohman bin Ali bin Abilhusain Az-zamrudi dan dikenal dengan Ibnusshoigh.
7)      Muhibbuddin Muhamad bin Yusuf bin Ahmad bin Abdiddayim.
g.      Tobaqoh Ketujuh
1)      Izzuddin Muhamad bin Abi Bakar bin Abdil Aziz bin Muhamad bin Ibrahim bin Saadillah ibnu Jamaah dan berasal dari Khamah.
2)      Badruddin Muhamad bin Abi Bakar bin Umar bin Abi Bakar bin Muhamad bin Sulaiman bin Ja'far Ad-damamini.
3)      Abu Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Muhamad bin Muhamad bin Hasan bin Ali bin Yahya Ibnu Muhamad bin Kholfullah bin Kholifah As-syumna.
4)      Abu Abdullah Muhyiddin Muhamad bin Sulaiman bin Saad bin Mas'ud Arrumi Albar'ami dan dikenal dengan Al-Kafiji.

h.      Thobaqoh Kedelapan;
1)      Zainuddin kholid bin Abdullah.
2)      Abu Fadl Jalaluddin Abdurrohman bin Abi Bakar bin Muhamad bin Sabiq bin Utsman bin Muhamad bin Khidir bin Ayyub bin Muhamad bin Hamam dan dikenal dengan nama panggilan Assuyuthi karena berasal dari daerah Assyuth yaitu salah satu propinsi di Mesir.
3)      Abu Hasan Nuruddin Ali bin Muhamad bin Isa bin Yusuf bin Muhamad Al-Asymuni.
4)      Syihabuddin Ahmad Ashibagh.

i.        Thobaqoh Kesembilan; masa Utsmani:
1)      Abu Bakar Syihabuddin Ismail bin Umar bin Ali.
2)      Abdullah bin Abdurrohman bin Ali.
3)      Yasin bin Zainuddin bin Abi Bakar bin Alam.
4)      Yusuf bin Salim bin Ahmad Alkhafani (Khafana adalah daerah Mesir Utara).
5)      Abu Irfan Muhamad bin Shobban.
j.        Thobaqoh Kesepuluh; periode sekarang :
1)      Muhamad bin Ahmad 'Arfah Addasuqi. Lahir di desa Dasuq dari propinsi Kafur Syekh, Mesir. Merantau ke Kairo sejak kecil.
2)      Hasan bin Muhamad bin Mahmud Al-Attor. Berasal dari Maroko.
3)      Hasan bin Ali Qowaidir Al-kholili.
4)      Muhamad bin Musthofa bin Hasan Al-khudhori.
5)      Abdulhadi Naja Al-Ibari
5.    Madzhab Baghdad
Ada beberapa catatan terkait pembahasan madzhab bagdad, yaitu:
a.    Penopang Madzhab Baghdad
Pada masa-masa awal munculnya aliran Baghdad, yaitu sekitar abad ke-3 H, perkembangan ilmu nahwu di Baghdad lebih didominasi oleh pengaruh dari Kuffah dari pada pengaruh dari Bashrah.. Hal ini tidak lepas dari campur tangan kekuasaan khalifah-khalifah Bani Abbas. Dominasi pengaruh madzhab Kuffah ini masih terus terasa, dan baru dapat berkurang setelah tokoh-tokohnya meninggal dunia.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pakar nahwu Baghdad berupaya memadukan madzhab Kuffah dan Bashrah, kemudian mereka formulasikan ke dalam sebuah aliran baru yang disebut sebagai aliran Baghdad, di mana kaidah-kaidah yang mereka gunakan sebagian diambil dari kaidah-kaidah nahwu Kuffah, sebagian dari kaidah-kaidah nahwu Bashrah dan sebagian lagi adalah kaidah-kaidah nahwu baru hasil ijtihad ataupun istimbat mereka.
b.    Popularitas Madzhab Baghdad di Lingkungan Kerajaan dan di Daerah
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perkembangan ilmu pengetahuan agak terhambat karena adanya campur tangan dari pemerintah, yang lebih memihak pada madzhab Kuffah. Sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan pemerintah tersebut, membuat para ilmuwan berniat meninggalkan negeri Baghdad, yang mereka anggap tidak memberikan kedamaian.
Kondisi Baghdad yang demikian masih terus berlangsung sampai datangnya Abu Al-Husain Ahmad bin Abu Syuja’ Bawaih pada tahun 334 H ke negeri tersebut dan mendirikan kekhalifahan Persi di Baghdad. Dan dalam perkembangannya, wilayah pemerintahan Bani Abbas kemudian terpecah menjadi beberapa bagian.
Seiring dengan terpecahnya kerajaan Abbasiyah, maka para pecah pula ikatan madzhab Baghdad, karena para pakar nahwu yang bermadzhab Baghdad tersebut, terpisah oleh wilayah-wilayah yang berbeda. Karena wilayah mereka telah terpisah.
Oleh kaerena itu, selanjutnya para pakar nahwu tersebut menjalani kehidupan yang baru di wilayah mereka masing-masing. Hal ini berarti bahwa, para pakar tersebut mempunyai kebebasan untuk mengembangkan madzhab nahwu mereka, bebas dari pengaruh dan tekanan siapapun, termasuk pengaruh dan tekanan dari pemerintahan Bani Abbas, sehingga mereka bebas berijtihad tanpa terpengaruh oleh pakar-pakar di wilayah lain kecuali untuk kepentingan perkembangan bahasa Arab.
c.    Misi Baru Madzhab Baghdad
Berbeda dengan pemerintahan Bani Abbas, maka pemerintahan baru yang ada di Baghdad lebih memberi perlindungan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan menghormati para ilmuwan pada masing-masing bidangnya. Mereka diberi kesempatan untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bahasa Arab, bahkan lebih dari itu, mereka dianggap sebagai bagian dari kerajaan meskipun mereka berasal dari wilayah lain. Pada masa pemerintahan As-Saljuqiyah, didirikanlah madrasah yang pertama dalam sejarah. Dikatakan pertama karena pada masa sebelumnya, proses pendidikan hanya berlangsung di masjid-masjid saja. Perhatian lebih dari pemerintah terhadap ilmu pengetahuan dan ilmuwan ini, selanjutnya memacu semangat para ilmuwan untuk lebih produktif. Sehingga pada masa tersebut, banyak bermunculanlah pengarang-pengarang besar nahwu, lebih dari apa telah ada sebelumnya, karena pada umumnya, mereka tidak cukup puas hanya menggunakan kaidah-kaidah dari pendahulu mereka saja, akan tetapi mereka mengembangkannya dengan ijtihad mereka sendiri. Dengan adanya perbedaan lingkungan dan juga perbedaan nuansa politik yang ada, selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap para ilmuwan. Ilmuwan yang ada pada masa pemerintahan saat ini (setelah pemerintahan Bani Abbas) disebut para ilmuwan (pakar) kontemporer, sedangkan ilmuwan yang ada pada masa sebelumnya (pada masa pemerintahan Bani Abbas) disebut sebagai ilmuwan (pakar) konvensional (tradisional). 



















 *Makalah Ushul Nahwu; Pengantar dan Wacana Tentang Madzhab-madzhabnya. 
**Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang

Senin, 28 Maret 2011

Kebudayaan dan ‘Transformasi’ Budaya* (Sebuah Perspektif Teori Leteral)



Oleh Abdur Rahim**

Pendahuluan
Budaya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, aturan-aturan dan norma-norma yang melingkupi suatu kelompok masyarakat akan mempengaruhi sikap dan tindakan individu dalam masyarakat tersebut. Sikap dan tindakan individu dalam suatu masyarakat dalam beberapa hal yang berkaitan dengan nilai, keyakinan aturan dan norma akan menimbulkan sikap dan tindakan yang cenderung homogen. Artinya, jika setiap individu mengacu pada nilai, keyakinan, aturan dan norma kelompok, maka sikap dan perilaku mereka akan cenderung seragam. Misalnya dalam suatu masyarakat ada aturan mengenai bagaimana melakukan pernikahan sehingga laki-laki dan perempuan dapat disahkan sebagai suami istri. Ketika anggota masyarakat akan menikah, maka proses yang dilalui oleh anggota masyarakat itu akan cenderung sama dengan anggota masyarakat yang lainnya.
Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya. Cara-cara menjalani kehidupan sekelompok masyarakat dapat didefinisikan sebagai budaya masyarakat tersebut. Satu definisi klasik mengenai budaya adalah sebagai berikut: "budaya adalah seperangkat pola perilaku yang secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada anggota dari masyarakat tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen: 1995)".
Definisi di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani hidup dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan.
Interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap budaya sendiriAgar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai akulturasi (acculturation).
Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup/ anggota dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan pada adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup. Dengan aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan bertindak. Jika tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah digariskan, maka akan timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani kehidupan. Rasa bahagia akanjuga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia mampu memenuhi persyaratan-persyaratan sosialnya. Orang akan sangat bahagia jika mampu bertindak baik menurut aturan budayanya. Oleh karena itu, budaya merupakan sarana untuk memuaskan kebutuhan anggota masyarakatnya.
Arti Kebudayaan
Secara etimologi kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta "buddhayah", yaitu bentuk jamak dari buddhi  yang berarti budi atau akal. Ada pendapat lain mengenai asal dari kata "kebudayaan", yaitu bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal[1].
  Sedangkan secara terminologi, banyak ilmuwan yang memberikan definisi tentang kebudayaan, diantaranya:
  1. E. B. Taylor dalam bukunya yang berjudul "Primative Culture" memberikan definisi yang sistematis dan ilmiah bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
  2. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat[2].
  3. Menurut Mukti Ali (1982:4), kebudayaan adalah budi daya, tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia digerakkan oleh akal dan perasaannya. Yang mendasari itu semua adalah ucapan hatinya.
  4. Gazalba (1979:72) mendefinisikan kebudayaan sebagai "cara berpikir dan merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam satu ruang dan satu waktu.  Definisi ini secara implisit mengetengahkan jenis-jenis kebudayaan, cara berpikir dan cara merasa merupakan kebudayaan batiniah, sedangkan manifestasinya dalam bentuk cara berlaku dan cara berbuat atau cara hidup adalah kebudayaan lahiriah. Produk cara berlaku-berbuat yang berbentuk benda disebut kebudayaan material.
  5. Langeveld (dalam Gazalba, 1979:77), kebudayaan dipandang sebagai tata nilai. Seorang individu dalam masyarakat atau masyarakat itu sendiri berbuat sesuatu, karena sesuatu itu bernilai atau berguna bagi kehidupannya[3].
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusiauntuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.
Secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut[4]:
1.      Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, dan meliputi:
2.      Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.
3.      Kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat kemungkinannya sangat kecil untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya, tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia (secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan kehidupannya.
Unsur-unsur Kebudayaan
Menurut Meilville J. Herskovits
  1. alat-alat teknologi
  2. sistem ekonomi
  3. keluarga
  4. kekuasaan politik
Menurut Bronislaw Malinowski
  1. Sistem norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
  2. Organisasi ekonomi
  3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama.
  4. organisasi kekuatan.
Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat
Kebudayaan berguna bagi manusia yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah dari segenap perasaan manusia.
Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan. Yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu :
  1. alat-alat produktif
  2. senjata
  3. wadah
  4. makanan dan minuman
  5. pakaian dan perhiasan
  6. tempat berlindung dan perumahan
  7. alat-alat transport

Sifat Hakikat Kebudayaan
  1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia
  2. Kebudayaan telah ada lebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
  3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

Aspek-Aspek Budaya
Budaya bersifat dinamis dan tidak statis. Budaya secara berkelanjutan berevolusi, meramu gagasan-gagasan lama dengan kemasan baru dan seterusnya. Suatu sistem budaya terdiri atas area-area fungsional sebagai berikut:
  1. Ekologi. Ekologi merupakan sistem berdaptasi pada habitat/ lingkungan. Ekologi ini dibentuk oleh teknologi yang digunakan untuk memperoleh dan mendistribusikan sumber daya (misalnya masyarakat industri dan masyarakat dunia ketiga/berkembang).Sebagai contoh negara Jepang sangat ahli dalam merancang produk yang efisien karena mereka dihadapkan pada luas wilayah yang sempit.
  2. Struktur sosial. Struktur sosial merupakan wilayah yang berfungsi sebagai penjaga ketertiban kehidupan sosial. Struktur sosial ini meliputi kelompok politik domestik yang dominan dalam budaya.Kelas sosial/ Struktur rumah tangga (keluarga inti dan keluarga lengkap merupakan contoh Struktur sosial).
  3. Ideologi. Ideologi merupakan karakteristik mental dari orang-orang dalam suatu masyarakat dan cara-cara mereka berhubungan dengan lingkungan dan kelompok sosial lainnya. Fungsi ideologi ini berkisar pada bagaimana anggota masyarakat memiliki pandangan yang umum pada dunia, seperti bagaimana prinsip-prinsip moral, etos dan prinsip-prinsip estetik.

Sifat Hakikat Kebudayaan
  1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia
  2. Kebudayaan telah ada lebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
  3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

Orientasi Nilai Kebudayaan
Terdapat enam dimensi nilai budaya pada berbagai budaya yang berbeda (McCarty & Hattwick: 1992) sebagai berikut:
  1. Individual versus kolektif. Ada budaya yang mementingkan nilai-nilai individual dibandingkan nilai-nilai masyarakat, dan ada juga budaya yang mementingkan nilai-nilai kelompok daripada nilai-nilai individual.
  2. Maskulinitas/feminitas. Melihat bagaimana peran pria melebihi peran wanita, atau bagaimana pria dan wanita membagi peran
  3. Orientasi waktu. Melihat bagaimana anggota masyarakat bersikap dan berperilaku dengan orientasi masa lalu, sekarang atau inasa depan.
  4. Menghindari ketidakpastian. Budaya suatu masyarakat berusaha menghadapi ketidakpastian dan membangun kepercayaan yang bisa menolong mereka menghadapi hal itu. Misalnya mereka meyakini dan menghayati agama.
  5. Orientasi aktivitas. Masyarakat yang berorientasi pada tindakan dan pada pemikiran.
  6. Hubungan dengan alam. Bagaimana suatu masyarakat memperlakukan alam, apakah sebagai pendominasi alam atau justru menjalin harmoni dengan alam.
Dalam suatu masyarakat tertentu, orientasi nilai di atas akan mengalami perubahan sesuai dengan proses adaptasi yang terjadi. Nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dari waktu ke waktu terns berubah.

Mitos dan Ritual Kebudayaan
Mitos
Setiap masyarakat memiliki serangkaian mitos yang mendefinisikan budayanya. Mitos merupakan cerita yang berisi elemen simbolis yang mengekspresikan emosi dan cita-cita budaya. Cerita-cerita berupa konflik antara dua kekuatan besar, dan berfungsi sebagai pembimbing moral untuk anggota masyakat.
Mitos yang beredar di masyarakat biasanya menunjukkan dua hal yang saling berlawanan. Misalnya kebaikan belawanan dengan setan dan kejahatan, alami berlawanan dengan teknologi/kimiawi dan lain-lain. Arah yang berlawanan tersebut biasanya secara bersamaan muncul pada diri manusia dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, dalam pemahaman tentang mitos masyarakat perlu mengetahui batas-batas baik dan buruk dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Batasan tersebut dijelaskan dalam aturan dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal-hal tertentu, mitos berfungsi sebagai mediator antara kekuatan baik dan kekuatan jahat atau antara dua kekuatan lainnya. Misalnya banyak mitos yang beredar di masyarakat mengenai binatang yang mempunyai kemampuan seperti manusia (misalnya kancil yang cerdik menyerupai manusia). Mitos tersebut dimaksudkan sebagai jembatan antara kemanusiaan dan alam semesta. Dalam praktek pemasaran, banyak sekali nama-nama binatang (yang mempunyai mitos tertentu) digunakan sebagai merek produk. Misalnya Toyota menggunakan nama Kijang untuk merk mobil dan Mitsubishi menggunakan Kuda.
Penggunaan mitos sebagai cara untuk taktik pemasaran sangat sering terjadi. Di Indonesia mitos mengenai kekuatan Bima digunakan sebagai merek produk Jamu kuat untuk pria misalnya. Bahkan dalam kancah perpolitikan mitos mengenai akan datangnya ratu adil dalam masyarakat Indonesia dijadikan alat untuk memperoleh dukungan masa. Pemasar harus secara kreatif menggali mitos-mitos yang sangat dipercayai oleh suatu masyarakat dan mitos-mitos tersebut bisa digunakan sebagai sarana untuk menyusun strategi pemasaran.

Ritual Kebudayaan
Ritual budaya merupakan kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Ritual menggambarkan prosedur budaya yang harus dilakukan oleh sekelompok masyarakat agar bisa memenuhi tuntutan budayanya. Mowen (1995) mendefinisikan ritual budaya sebagai urutan-urutan tindakan yang terstandardisasi yang secara periodik diulang, memberikan arti, dan meliputi penggunaan simbol-simbol budaya. Ritual mempunyai beberapa kegunaan yang secara umum mempunyai permulaan, pertengahan dan akhir proses ritual. Ritual dapat bersifat pribadi ataupun bersifat umum. Variasinya mulai dari skala yang besar seperti mudik lebaran sampai pada skala yang kecil seperti ziarah kubur misalnya.
Ritual budaya berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang. Ritual budaya dilakukan secara serius dan formal, dan juga memerlukan intensitas yang sangat dalam dari seseorang yang melakukan ritual. Sementara itu kebiasaan tidak dilakukan secara serius dan tidak mesti dilakukan. Kebiasaan akan sangat mudah berubah jika ada stimulus lain yang lebih menarik. Misalnya jika Anda biasa melalui jalur jalan tertentu ketika berangkat kerja dan Anda sudah biasa menghadapi jalan yang macet, namun ketika ada jalur jalan lain yang lebih lowong dan lebih cepat membawa Anda ke kantor, mungkin kebiasaan Anda akan berubah.
Setiap ritual budaya akan membutuhkan benda-benda (artifak) yang digunakan untuk melaksanakan proses ritual. Benda-benda inilah yang oleh pengusaha dijadikan sebagai peluang usaha. Setiap upacara ulang tahun misalnya, benda-benda yang dibutuhkan meliputi beberapa jenis seperti permen balon, kue dan lain-lain. Dalam upacara perkawinan misalnya banyak sekali artifak yang diperlukan agar proses ritual perkawinan berjalan dengan baik dan memuaskan pihak penyelenggara ritual. Benda-benda yang dibutuhkan dalam ritual perkawinan sangat banyak dan bervariasi mulai dari gedung tempat pesta, bunga, baju pengantin, rias pengantin gamelan tradisional, makanan, buah-buahan dan lain-lain.
Begitu banyaknya ritual budaya yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat, dan juga ritual itu dilaksanakan secara periodik, maka hal ini sangat menarik bagi pemasar untuk menyediakan produk-produk khusus untuk ritual tertentu. Di kota-kota besar, banyak sekali gedung-gedung yang disewakan untuk ritual perkawinan atau ritual yang lainnya. Bahkan perkembangan sekarang, banyak usaha yang mengkhususkan pada pengelolaan pesta ritual seperti ulang tahun, perkawinan dan lain-lain yang disebut sebagai wedding organizer.
Bagi pemasang iklan, peristiwa ritual budaya dapat dijadikan tema iklan. Misalnya saja ritual lebaran, bisa dijadikan tema iklan untuk produk sarung, peci, dan produk-produk lainnya. Selain itu peristiwa ritual juga bisa digunakan untuk memposisikan produk sebagai produk khusus untuk peristiwa ritual tertentu. Misalnya produk berlian bisa diposisikan sebagai produk untuk hadiah perkawinan anak.

Simbol-Simbol Kebudayaan
Selain dengan ritual, budaya juga direpresentasikan melalui simbol-simbol tertentu yang mempunyai arti tertentu pula. Simbol yang sama mungkin akan mempunyai arti yang berbeda pada satu budaya dengan budaya yang lainnya. Penggunaan simbol sebagai representasi budaya sangat sering dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Apa yang dipakai dan dikonsumsi oleh seseorang akan mencerminkan budayanya. Oleh karena itu tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya manusia mengkonsumsi simbol dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam proses pembelian, konsumen pertama kali melakukan evaluasi dan diakhiri keputusan pembelian, sebagian besar pertim-bangannya adalah nilai simbolik yang bisa diperoleh dari pembelian suatu barang. Tentu saja hal ini tidak berlaku untuk semua kategori produk, tetapi banyak sekali pembelian yang dilakukan oleb konsumen dengan mempertimbangkan nilai-nilai simbolis.
Perusahaan sangat sering menggunakan nilai-nilai simbolis untuk produk-produk yang dihasilkannya dengan memberi merek yang mempunyai pengertian simbolis. Misalnya Toyota memberi merek Kijang Untuk kendaraan jenis penumpang keluarga, karena Kijang mempunyai nilai simbolis yaitu kemampuan lari yang sangat cepat dan lincah.
Selain asosiasi dengan binatang, simbol budaya juga bisa ditunjukkan dengan warna. Warna hitam pada berbagai budaya mempunyai arti yang berbeda-beda. Warna hitam pada kebanyakan budaya mempunyai arti formal. Warna biru menunjukkan kesejukan, warna putih menunjukkan kesucian. Warna merah pada kebanyakan budaya menunjukkan keberanian dan kegagahan. Oleh karena itu, pemasar dapat menggunakan warna-vvarna ini sebagai dasar untuk menciptakan produk yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan simbolis.

Transformasi Budaya
Dari paparan wacana kebudayaan di atas dapat diketahui, bahwa ada banyak peninggalan serta karya sastra umat sebelum kita yang mestinya kita ketahui. Baik dari timur ataupun barat, misalnya saja sastra jahiliyah yang paling populer seperti Al-mu’allaqotu’L sab’ah yaitu kumpulan syair terbaik di pasar Ukkaz dan di tempel di dinding Kabah pada masa tersebut. Ataupun karya-karya pada masa sesudahnya, seperti Burdahnya Ka’ab bin Zuhair juga syair Abdullah bin Rowahah, yang digolongkan sebagai sastrawan-sastrawan pembela Islam di zaman Rasulullah, juga syair-syair pilosofi Abu Tamam dan Abu’L Alâ Al-Ma’arri.[5]
Merupakan fakta yang sangat jelas dan tidak dipungkiri oleh para peneliti, bahwasanya proses transformasi ataupun penterjemahan, merupakan langkah yang sangat positif sekali untuk mengetahui peradaban umat lain, khususnya sastra. Sebagaimana umat Islam pada masa Khilafah Abbasiyah dahulu yang banyak menterjemahkan berbagai macam disiplin ilmu yang tidak ada pada mereka, seperti Kedokteran, Fisika, Matematika, Kimia, dan Filsafat. Sehingga mereka pun mengembangkan ilmu-ilmu tersebut, dengan landasan salah satu hadits Rasulullah Uthlubu’L ‘ilma walau bi’L shîn, yang artinya, tututlah ilmu walaupun ke negeri Cina.
Dan proses tranformasi ini pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pola pikir ilmuan Islam dalam memahami konteks agama, juga menyebabkan terbentuknya berbagai macam kelompok, seperti Nuhatu’L bashroh, atau ahli Mantiq karena mereka cenderung menggunakan istilah-istilah Mantiq. Pokoknya mereka telah mengambil manfaat dari usaha-usaha mereka dan juga umat lain yang mempelajari bahasa mereka. Tidak mustahil kita pun bisa demikian. Kenapa tidak?! Mentransfer karya bangsa lain baik Arab ataupun Barat, dengan memberikan corak pembaharuan dan bukan saja memindahkan. Mengulangi kembali apa yang sudah dicapai umat Islam Arab dulu dengan metode dan sistem yang lebih sempurna, khusunya dalam bidang sastra. Kalaupun ada sebagian golongan yang mencemaskan, akan identitas peradaban dan sastra kita dan ditakutkan akan terkikis serta akan masuk gejala-gejala kebudayaan Barat yang serba pulgar. Sesungguhnya kita dituntut untuk selalu kritis bukan hanya menerima dan mengambil, agar tidak terpuruk dalam krisis identitas dan lebih mencintai budaya asing.
Dan pada dasarnya di dalam transformasi sastra ataupun budaya tidak ada bahaya, karena bahaya itu sebenarnya timbul dari kesalahan kita dalam memilih, memahami dan beraspirasi. Maka ketika kita dalam tiga hal tadi harus selalu ingat terhadap ayat yang mengatakan “falyanzhur ayyuhã azkâ tho’âman falya’tikum bi rizqin minhu wal yatalatthaf” (Qs. Al Kahfi:19).


Daftar Pustaka

Mustopo, M. Habib. Ilmu Budaya Dasar . Surabaya: Usaha Nasional.
Sukidin, Basrowi, Agus Wiyaka. 2003. Pengantar Ilmu Budaya . Surabaya: Insan Cendikia.
P.J. Zoutmulder. 1951. Cultuur, Oost en West. Amsterdam: P.J. Van Der Peet.
Gazalba, Sidi. 1978. Asas Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
http//www.katananjiwa.com.Sastra; antara transformasi dan pergesekan (Kredo). Disadur dari  Ahmed Falhan Mahasiswa tingkat akhir Fak. Sastra Arab Univ. Al Azhar Kairo Mesir.
Gumilar, Gumgum, S.Sos., M.Si. Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom.
Sulaeman, Munandar. Ir. Drs. Ms. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT. Eresco.
Daeng, Hans J. Dr. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] lihat buku: P.J. Zoutmulder, Cultuur, Oost en West. Amsterdam, P.J. Van Der Peet, 1951.
[2] Sukidin, Basrowi, Agus Wiyaka, Pengantar Ilmu Budaya (Surabaya: Insan Cendikia, 2003), hlm. 4-5.
[3]  M. Habib Mustopo,Ilmu Budaya Dasar (Surabaya: Usaha Nasional), hlm. 71-72.
[4] Sukidin, Basrowi, Agus Wiyaka, Pengantar Ilmu Budaya (Surabaya: Insan Cendikia, 2003), hlm.5.
[5] http://www.katananjiwa.com











* Tugas makalah mata kulaih Pengantar Ilmu Kebudayaan
** Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora dan Kebudayaan UIN Maliki Malang

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites